TikTok Shop sendiri menurut salah satu pendapat dari detik.com adalah sebuah sarana dimana generasi muda yang memiliki buying power terbatas dapat melakukan kebebasan pembelian. Sebenarnya apabila diukur dari margin pendapatan, margin yang didapat di Tiktok Shop ketimbang platform belanja online lain dapat dibilang lebih kecil, namun ia memiliki kelebihan dimana ia disetting memang untuk strategi bisnis dan daya kreativitas yang menyesuaikan kondisi anak muda saat ini sebagai pasar terbesar. Oleh karenanya, untuk dapat bersaing, suatu entitas perdagangan baik UMKM, startup, maupun perusahaan-perusahaan konvensional tidak dapat berjalan sendiri melainkan perlu terbuka dan juga bekerjasama dengan agensi atau studio yang lebih memahami bagaimana pengkomunikasian di platform tersebut maupun ekosistem digital lainnya.
Â
Kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah terhadap TikTok Shop ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, bahkan ada pendapat dari Crazy Rich yang menyatakan bahwa TikTok sebenarnya memberi lapak yang lebih murah daripada membuka toko offline langsung. Memang sebenarnya pelarangan terhadap posisi platform TikTok ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi dengan adanya fenomena bahwa rakyat Indonesia sendiri sudah banyak yang terjun dan familier dalam platform tersebut, akan tetap menimbulkan pertanyaan "Lalu bagaimana selanjutnya?"
Kebijakan Pelarangan TikTok Shop: Sebuah Solusi atau Sekedar "Kambing Hitam"?
Sampailah kita pada bagian akhir dari pembahasan ini. Sebelum masuk ke inti judul, ada satu pertanyaan lain yang juga sempat menggelitik perhatian- Â yang agaknya berbau konspiratif - Â "Apakah kebijakan pemerintah ini didorong oleh kepentingan platform e-commerce lain yang terdampak popularitas TikTok?" Di titik itu, saya pribadi malah lebih ingin bergerak lebih jauh mengembangkan pertanyaan tersebut dengan menampilkan pertanyaan tambahan "Apakah Kebijakan Pelarangan TikTok Shop ini adalah solusi atau hanya menjadi "kambing hitam" atas kelesuan ekonomi yang terjadi?"Â
Pertama-tama, terlepas dari benar tidaknya fakta dibalik pertanyaan pertama tersebut, bagaimanapun peraturan pemerintah pada akhirnya harus tetap kita taati namun juga kita patut pula menyuarakan pendapat dan perlu ada dialog dan aksi nyata dengan setiap stakeholder yang terlibat dalam jalur perdagangan lokal. Seluruh pendapat di atas sebenarnya pada akhirnya bermuara pada bagaimana secara kolaboratif pengembangan UMKM dapat dilakukan. Dunia bisnis setelah pandemi menemui ketidakpastian yang sangat besar, dan juga ada seakan jurang yang semakin bertambah lebar dimana "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin", tetapi yang akhirnya bakal berdampak dan memberi impresi mendalam pada masyarakat dapat terlihat secara ideal bahwa bukan sekedar cerita tentang orang yang miskin menjadi kaya tetapi orang-orang yang saling bergandengan tangan tanpa batas.
Kedua, mengenai pertanyaan saya sendiri terhadap kasus ini, dikatakan dalam riset oleh Prooijen pada UNESCO Courier 2021 adalah sebuah hal yang umum berpotensi untuk terjadi dimana dalam sebuah krisis, adanya narasi scapegoating terhadap pihak yang terlihat nampak pada posisi di atas angin, seperti pada fenomena Xenophobia selama masa COVID. Namun, di sisi lain, hal semacam ini akhirnya mengarahkan pada kebutuhan kejernihan informasi. Memang akan selalu ada fase panik dan pemikiran prematur yang dapat muncul dalam sebuah krisis maupun perubahan yang cepat, tetapi di sinilah setiap entitas diuji sesungguhnya, bagaimana ia akan tetap menjaga integritasnya di tengah berbagai upaya hingga sampai tahap pelaksanaan solusi yang diberikan. Hal ini di dalam bisnis sendiri adalah sebuah harta berharga yang amat dicari setelah segala wacana penyelesaian masalah keluar dari benak kita. Stay relevant!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H