Sementara itu, aktivitas sekunder meliputi :
- Procurement (Pengadaan) menyangkut bagaimana perusahaan memperoleh bahan mentah. Seorang desainer atau agensi juga perlu mengalokasikan bagaimana ia memperoleh bahan-bahan desain, misalkan adanya biaya fotografi atau mendownload foto atau desain template dari situs lain.
- Technological development digunakan pada tahap penelitian dan pengembangan (R&D) perusahaan—seperti merancang dan mengembangkan teknik manufaktur dan mengotomatisasi proses. Penganggaran ini contohnya dapat terjadi apabila agensi desain ingin membuka layanan yang meningkatkan valuenya, misalkan jasa pembuatan desain yang melibatkan teknologi VR atau AR yang memerlukan alokasi untuk teknologi tersebut.
- Human resources (HR) management melibatkan perekrutan dan mempertahankan karyawan yang akan memenuhi strategi bisnis perusahaan dan membantu merancang, memasarkan, dan menjual produk. Alokasi biaya ini dapat berupa misalkan penganggaraan untuk penghargaan karyawan, alokasi ulang tahun karyawan untuk hiburan, hingga biaya perekrutan dan penambahan tata sistem anggota baru dalam agensi.
- Infrastructure mencakup sistem perusahaan dan komposisi tim manajemennya—seperti perencanaan, akuntansi, keuangan, dan pengendalian kualitas. Dalam hal ini, contohnya adalah aset seperti alokasi server komputer untuk desain maupun khusus untuk administrasi, pemasangan dan peningkatan jaringan wifi kantor.
Semua aktivitas-aktivitas tersebut sebenarnya juga masih akan ditambah dengan profit margin yang akan seorang desainer terima. Profit tersebut sendiri juga tidak sembarangan melainkan dapat diliat dalam takaran yang sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti harga kompetitor, kemampuan klien dll.
Dalam dunia desain grafis yang berbasis agensi saja, kita dapat mengkavling aktivitas-aktivitas tersebut, dan juga memakai tolok ukur persentase dari sebuah harga penawaran jasa, misalnya berikut :
Katakanlah kita sendiri mematok harga 500.000 rupiah per desain, dari situ sebenarnya kita dapat membagi ke dalam kavling misalkan 40% sebagai harga aktivitas sekunder, 40% sebagai harga aktivitas primer, dan sisanya sebanyak 10% sebagai margin keuntungan bersih.
Hal yang kita kejar, misalkan benchmark dimana kita mengejar upah operasional sebesar 8.000.000 sebulan untuk menggaji karyawan kita, maka dapat dihitung hingga ke jumlah target proyek sebagai berikut :
Dari contoh tersebut tentunya kita dapat melihat bahwa perhitungan tersebut adalah perhitungan kasar. Pastinya dalam prakteknya bagi kalangan desainer sendiri, akan sangat tidak realistis apabila kita harus mencari dua ratus proyek dalam sebulan. Â Namun kita sendiri dari kavling biaya tersebut dapat lebih mudah berfokus mensiasati dengan mengutak atik misalkan persentase pengkavlingan aktivitas-aktivitas lain, menerapkan produk layanan lain, hingga subsidi saling silang antar aktivitas. Semua itu berjalan dinamis tergantung target yang kita ingin raih.
Tentunya harga diatas hanyalah salah satu contoh saja diantara sekian banyak pemaparan strategi pricing di luar sana. Ada banyak pendekatan-pendekatan lain yang dapat dicoba. Pendekatan value chain ini hanya secara gambaran besar memberikan adanya biaya-biaya lain yang secara visual dapat seorang desainer pikirkan dalam jasa mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H