Mohon tunggu...
Gregorius SenoAji
Gregorius SenoAji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Adalah seorang yang menyukai film, buku fiksi dan biografi, serta kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Seperti Bambu: Tua-Muda Bersinergi!

15 Juni 2024   00:28 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:19 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau berbicara tentang Gen-Z, mungkin saudara -- saudari sekalian memiliki beragam opini terkait hal tersebut. Ada yang menganggap bahwa orang -- orang pada Gen-Z merupakan aset penting bagi masa depan negara, untuk menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045. Namun tidak sedikit yang beranggapan, bahwa Gen-Z merupakan sekumpulan orang yang cukup "abstrak" untuk dipahami.

Halo, sudah hampir satu semester penulis tidak bersua di laman ini. Tak terasa waktu begitu cepat, dan usia semakin bertambah juga. Namun karena beberapa hal, keinginan penulis untuk beropini agaknya baru dapat direalisasikan pada pertengahan tahun ini. Walaupun begitu, penulis cukup bersyukur atas beragam kisah dan dinamika yang akhirnya dapat penulis suarakan pada laman ini. 

Banyak orang datang dan juga pergi, adapun pencerahan dari berbagai peristiwa lokal maupun interlokal yang mempengaruhi sudut pandang penulis dalam menyikapi berbagai hal. Dan salah satunya peristiwa atau fenomena yang cukup menarik bagi penulis adalah masyarakat Gen-Z.

Post-Millennial Generation atau secara umum dapat disebut sebagai Gen-Z, merupakan sebuah angkatan kerja dalam rentang tahun kelahiran 1997 hingga 2013 (Schroth, 2019). 

Angkatan kerja Gen-Z lahir dan tumbuh besar di tengah - tengah perkembangan teknologi yang sangat dinamis. Apabila saudara - saudari sekalian ingat pada kurun waktu pertengahan hingga akhir 90-an, negara kita ikut "terseret" dalam arus perkembangan teknologi global. Sebagai salah satu contohnya, masyarakat Indonesia diperkenalkan dengan layanan hiburan elektronik yang bernama Playstation. 

Produk hiburan elektronik debut produksi Sony Entertainment tersebut didistribusikan pada tahun 1995 untuk wilayah di luar Jepang, dan berhasil terjual sebanyak 102,4 juta unit (Rizal & Erdianto, 2022). 

Perlu diingat pada kurun waktu tersebut mungkin tidak sedikit orang tua yang enggan membawa putra - putrinya pergi ke toko elektronik ataupun ke pusat perbelanjaan, lantaran takut "dipalak" oleh putra - putrinya untuk dibelikan konsol Playstation. 

Tidak sedikit orang tua pula pada tahun tersebut menjanjikan akan membelikan konsol yang diinginkan oleh putra - putrinya, dengan satu syarat dapat menjadi juara kelas. Walaupun penulis yakin betul, bahwa "janji" tersebut adalah salah satu tipu muslihat daripada orang tua di masa itu.  

Sumber: Pribadi
Sumber: Pribadi

Kembali pada topik pembahasan, salah satu faktor yang mempengaruhi bahwa Gen-Z hidup di tengah - tengah teknologi adalah akses akan ponsel pintar atau gawai. 

Penggunaan ponsel pintar dan gawai dewasa ini, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat Gen-Z. Bahkan orang tua dewasa ini membiarkan putra - putrinya yang masih dibawah umur untuk mengakses gawai dengan mudah (CLSD.Psikologi, 2023). Dengan cukup mudahnya akses gawai bagi masyarakat Indonesia, dapat dipastikan di masa depan Indonesia akan menjadi salah satu raksasa teknologi digital di Asia (Rahmayani, 2015). 

Mungkin dengan adanya statement di atas, dapat membuat saudara - saudari sekalian cukup lega dan tidak khawatir atas perilaku Gen-Z yang sudah dipengaruhi oleh digitalisasi. Namun akses mudah gawai yang mudah bagi masyarakat Gen-Z, merupakan "pisau bermata dua" terhadap tumbuh kembang masyarakat Gen-Z itu sendiri. 

Perlu diingat bahwa masyarakat Gen-Z adalah masyarakat yang hidup beririsan dengan perkembangan teknologi yang dinamis. Di mana masyarakat Gen-Z memiliki akses yang sangat mudah dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. 

Perlu diingat bahwa pada masa kejayaan ponsel Blackberry sepuluh tahun lalu di Indonesia kurang lebihnya dipengaruhi oleh keberadaan masyarakat Gen-Z, di mana mayoritas penggunanya menggunakan ponsel pintar tersebut untuk melakukan kegiatan bermedia sosial melalui layanan Blackberry Messenger (BBM) (Azlen, 2024). 

Penulis berusaha mengasumsikan bahwa pengguna ponsel Blackberry pada masa itu adalah anak - anak hingga remaja (mungkin rentang usia 9 hingga 15 tahun). Maka daripada itu, pengguna ponsel Blackberry pada masanya cukup banyak diakses oleh masyarakat Gen-Z yang masih di bawah umur. 

Secara pemahaman dan literasi digital, agaknya masyarakat Gen-Z mungkin akan lebih cakap daripada masyarakat pada generasi - generasi sebelumnya. 

Wajar saja, masyarakat Gen-Z memiliki privilege dalam mengakses teknologi informasi dan komunikasi lebih dulu daripada generasi sebelumnya. Namun ada beberapa hal yang perlu diketahui, bahwa tidak sedikit efek buruk penggunaan gawai pada usia muda (anak - anak hingga remaja) diantaranya; 

(1) kecanduan akan gawai, (2) tidak dapat fokus belajar, terutama dalam hal membaca, (3) sosial dan emosi yang tidak stabil, serta (4) buruknya kondisi tubuh karena kurangnya aktivitas gerak (CLSD.Psikologi, 2023). 

Tidak heran apabila saudara - saudari melihat fenomena di mana teman - teman Gen-Z lebih "melek" teknologi. Karena pada dasarnya digitalisasi dapat dikatakan sebagai "makhluk hidup lain" yang tinggal berdampingan dengan masyarakat Gen-Z, di mana setiap evolusi dan revolusinya dirasakan secara langsung oleh masyarakat Gen-Z. 

Dengan begitu timbul sebuah pertanyaan besar, "Apakah masyarakat Gen-Z merupakan rekan yang baik dalam pekerjaan ? Atau malah menjadi penghambat bagi organisasi pekerjaan?". 

Sebelum menilai lebih jauh lagi terkait masyarakat Gen-Z, penulis perlu meluruskan bahwa dalam tulisan ini tidak menilai angkatan kerja yang baik ataupun buruk. 

Penulis pada artikel ini berusaha untuk memberikan beberapa solusi agar setiap generasi pekerja dapat bekerja sama dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang pekerja. Maka daripada itu, penulis mengajak saudara - saudari semua untuk memahami secara praktikal bagaimana masyarakat Gen-Z dalam bekerja.

  1. Melek Teknologi

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Gen-Z merupakan generasi pekerja yang sangat terampil dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti yang penulis sampaikan pada bagian sebelumnya, bahwa masyarakat Gen-Z hidup berdampingan dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Perkembangan gawai bahkan sistem yang berada dalam sebuah teknologi informasi dan komunikasi dapat dipahami dengan mudah oleh Gen-Z. 

Di Indonesia, sebanyak 33% Gen-Z menghabiskan lebih dari enam jam untuk mengakses media sosial, dengan total keseluruhan waktu penggunaan gawai selama delapan setengah jam untuk satu hari (Kim et al., 2020). Sehingga atensi masyarakat Gen-Z terhadap digitalisasi cukup tinggi. Pemahaman digitalisasi oleh Gen-Z kurang lebihnya dapat dilihat melalui fenomena pemilihan presiden pada awal tahun 2024 ini. 

Sebagai catatan, penulis tidak akan menunjukan keberpihakan terhadap calon presiden manapun pada artikel ini. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Gen-Z memiliki kontribusi yang tinggi dalam pemilihan presiden di tahun 2024 ini, melalui media digital terutama sosial media Instagram. 

Masyarakat Gen-Z memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai informasi daripada calon presiden dan wakil presiden melalui media sosial Instagram (Fitri et al., 2023). Sehingga kontestasi pemilihan umum pada awal tahun 2024 ini, cukup diwarnai dengan adanya kehadiran masyarakat Gen-Z karena eksistensinya melalui media sosial.

  1. Peka Terhadap Situasi Sekitar

Masyarakat Gen-Z pada dasarnya memiliki tingkat sensitivitas dan sudut pandang yang cukup berbeda terhadap memahami kondisi organisasi masyarakat ataupun pekerjaan. Mungkin apabila saudara - saudari sekalian melihat bahwa masyarakat Gen-Z merupakan tipikal angkatan kerja yang gemar selektif dalam menentukan kondisi organisasi pekerjaan, itu adalah fakta. Karena pada dasarnya masyarakat Gen-Z  akan memilih tempat bekerja yang dapat mengembangkan potensi serta mendukung dalam kesuksesan dan porsi pekerjaan yang adil. Namun mayoritas organisasi pekerjaan memiliki pandangan yang cukup berbeda, dengan masyarakat Gen-Z. Cara pandang organisasi pekerjaan adalah mengkondisikan para pekerjanya untuk dapat adaptif dengan peraturan organisasi, dan bukan organisasi yang menyesuaikan dengan keinginan daripada pekerjanya. Dengan kondisi yang demikian, masyarakat Gen-Z secara mayoritas (69%) sangat setuju dengan adanya work life balance dalam euforia pekerjaannya (Sanita, 2023). 

Perkembangan teknologi juga mempengaruhi preferensi masyarakat Gen-Z dalam menentukan ruang kerjanya. Masyarakat Gen-Z meyakini bahwa pekerjaan adalah sebuah tanggung jawab yang harus selesai sesuai dengan porsinya. Sehingga pekerjaan tidak terbatas dengan ruang - waktu, dan dapat dikerjakan di mana saja (Seek Perusahaan, n.d.). Penulis kerap melihat rekan - rekan Gen-Z melakukan aktivitas pekerjaan di cafe - cafe kekinian, bahkan tidak jarang yang melakukan rapat secara daring di cafe - cafe tersebut. 

Dan yang terakhir adalah fenomena "kutu loncat perusahaan" yang telah ter stereotip oleh angkatan kerja yang lebih senior. Melihat daripada sudut pandang masyarakat Gen-Z bahwa durasi yang ideal seseorang dalam meniti karir sangatlah beragam, ada yang beranggapan bahwa waktu yang ideal adalah 1 hingga 2 tahun, namun ada yang beranggapan bahwa 3 sampai 6 tahun adalah waktu yang ideal (Sanita, 2023). 

Fenomena seperti ini agaknya membuat pola pikir generasi pekerja yang lebih senior beranggapan, bahwa masyarakat Gen-Z memiliki tingkat loyalitas yang rendah. Sehingga ketika berada di ruang kerja profesional, masyarakat Gen-Z memiliki kecenderungan untuk mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan daripada generasi senior. 

Beberapa rekan yang kebetulan menjadi salah satu masyarakat Gen-Z mengaku, bahwa senioritas di tempatnya bekerja cukup tinggi. Rekan daripada penulis mengaku, kerap menjadi bahan "kongkan -kongkon" dari angkatan kerja seniornya dengan alasan untuk menguji seberapa jauh rekan penulis loyal terhadap perusahaan. 

Mungkin apabila dijadikan perumpamaan, masyarakat Gen-Z seakan - akan berada di lingkungan orientasi mahasiswa angkatan lawas, yang kerap mempraktikan senioritas.

Menurut penulis salah satu faktor yang menghambat hubungan antar angkatan pekerja di sebuah organisasi pekerjaan adalah stigma negatif terhadap salah satu angkatan pekerja itu sendiri. Masyarakat angkatan kerja tertentu telah membatasi diri terlebih dahulu dalam melihat generasi yang lebih muda. 

Penulis berargumen, bahwa sebuah organisasi pekerjaan dapat bergerak secara dinamis sesuai dengan tuntutan pekerjaan adalah dengan menghadirkan masyarakat Gen-Z dan memberikannya ruang untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Tantangan terbesar Republik Indonesia dewasa ini adalah globalisasi dalam digitalisasi. 

Masyarakat Gen-Z di Indonesia memiliki kepekaan terhadap finansial, teknologi, dan mitigasi yang jauh lebih baik daripada masyarakat pekerja generasi sebelumnya (Sakitri, 2021). 

Namun sebagai angkatan kerja yang lebih senior, dalam posisi ini dapat menjadi "mentor" bagi rekan - rekan Gen-Z dalam melakukan sebuah pekerjaan. Karena tidak dapat dipungkiri, pengalaman dan keahlian daripada masyarakat generasi yang lebih senior daripada Gen-Z pastinya lebih matang dan bijaksana. 

Akhir kata, penulis ingin menyampaikan betapa pentingnya kita untuk saling bersinergi lintas angkatan pada sebuah organisasi pekerjaan. Seperti halnya sebuah bambu, yang semakin muda usianya maka akan semakin fleksibel, dan bambu yang semakin tua usianya maka ia akan semakin kokoh. 

Penulis sangat senang duduk - duduk di sebuah bale bambu sambil menikmati secangkir kopi hitam panas dan segenggam tempe koro  di ruang terbuka suatu angkringan di kota asal penulis tinggal. 

Penulis takjub dengan kekuatan bale bambu tersebut, karena sudah sejak lama bale tersebut menemani penulis dalam menikmati kopi dan tempe koro yang disantap. 

Bale tersebut terdiri dari bambu muda sebagai penguat sisi dan penyambung antara bambu tua yang satu dengan lainnya. Dan penulis meyakini bahwa bale bambu merupakan buah tangan daripada leluhur kita di masa lalu. 

Dengan penuh harapan, kehadiran bale bambu bisa mempersatukan dua orang agar dapat bercengkrama satu sama lain. Betapa mulianya leluhur kita! Dewasa ini kita wujudkan harapan leluhur kita, untuk menjadi bambu muda dan bambu tua yang dapat bersinergi satu sama lain.

Sumber : Pribadi
Sumber : Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun