Mohon tunggu...
Gregorius Berthon Mbete
Gregorius Berthon Mbete Mohon Tunggu... Penulis - Cla Pilibi

Misionaris Claretian

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Andai Aku Selesai

1 Desember 2020   19:58 Diperbarui: 1 Desember 2020   20:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit tidak lagi membiru di atas kepalaku. Hujan pun tak dapat kurasakan lagi. Sedang suara burung tetap bisa kudengar. Dan lolongan anjing malam sebagai nyanyian pelengkap rindu. Jika bunga sepe yang memerah darah itu bermekaran. Tentu saja mereka akan menghiasai makam jasadku. Sedang Aku sendiri hanya bisa mendekap miringnya tanah. Di persimpangan setapak yang berbaring di mukamu.

Ketika anak-anak tidak lagi tidur di siang hari. Si Ibu akan segera mengerahkan kekuatan supernya untuk itu. Lagipula bukan Ibu jika tidak melakukan demikian. Aku pernah mengalami semua itu. Ketika Ibu mengusir aku dan adikku yang suka bermain ombak. Katanya, "Ombak bisa menelan kalian berdua". Masih kecil kepalaku waktu itu untuk memahami kata-kata itu.

Waktu kami berjalan berdua sepulang sekolah. Sepupuku ternyata berak di celana. Aku berusaha membantu mencari jalan keluar. Untung saja waktu itu hujan. Jadi kami bisa leluasa membersihkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kotoran itu. Masa kecil yang baik, ditemani pengalaman-pengalaman yang baik dan mendalam.

Suatu kali karena uang jajan yang diberikan Ibu kubelanjakan pas masih di sekolah, alhasil tiada lagi ongkos bemo. Aku harus berdiri di dalam bemo karena tidak sepeser pun uang di saku celana merahku. Itu tidak masalah bagiku. Masalahnya adalah, sepupuku melaporkan apa yang terjadi kepada Ibu. Ibu menghadiahiku beberapa tanda merah di pangkal paha. Kejadian itu tidak bisa sama sekali kulupakan. 

Kini semuanya hanya bisa dibayangkan kembali. Tentu saja dibayangkan kembali oleh orang-orang yang pernah dekat denganku. Mozaik demi mozaik cerita mereka beberkan saat menjaga jenazahku yang berbaring kering dengan sekutip senyum kecil di ujung bibir. "Manis", kata beberapa orang. Yah, orang-orang yang kukenal itu berkata apa adanya. Ku memang manis, berkulit hitam manis, rambut keriting pendek dan postur tidak melebar. Banyak kata yang kudengar mereka ucapkan. Kata-kata itu tidak seperti hantu yang tiba-tiba saja datang karena ketakutan manusia. Itu kata-kata yang nyata. Kata-kata yang jujur, tanpa satu pun hasrat ingin membangkitkanku dari tidur kematian. 

Lebarnya udara malam itu memenuhi setiap sudut rumah kami. Si bungsu yang sedari tadi meneteskan air mata tanpa suara, masih saja berada dengan situasinya itu. Ingin sekali aku menegurnya untuk menghentikan tangisannya, tetapi apa daya aku hanya bayangan semu yang hanya mampu menatap dalam-dalam. Berada begitu dekat dengan mereka, namun ada jurang raksasa tak terkatakan. Aku pun tidak dapat meneteskan air mata. Hanya memandang kaku, tanpa rasa. Seandainya mereka tahu keberadaanku, mungkinkah mereka memanggilku pulang memasuki kembali tubuhku yang telah dibaluti sarung adat kesayanganku?

Antara aku dan mereka hanya ada rindu, rindu yang bertepuk di tangan mereka. Jika suatu saat nanti semua sudah kembali ke asalnya, mungkinkah kami saling mengenal dan mamadu rindu? 

Ayah bukanlah seorang yang mampu mengekspresikan kesedihannya. Aku mengenal Ayah. Dia hanya diam seperti biasanya, tak bersuara. Itu bukan karena ia tak tahu apa itu kesedihan. Itu bukan karena ia tidak mengerti gejolak perasannya sendiri. Itu karena dia memiliki iman yang luar biasa dalamnya. Dia tidak bersekolah tentang iman. Tetapi jangan tanya tentang iman kepadanya. Pasti penjelasan tidak kita temui, tindakannya menunjukkan betapa imannya begitu tulus. Memang memercayai Ilahi dalam kelemahan adalah begitu manjur bagai ganja di tangan para pemberontak. Kemurnian yang hakiki, kemurnian yang mumpuni. 

Aku kini hanyalah roh yang mengintip di sela-sela bebak rumah kami. Melihat ke dalam, dan menemukan betapa mereka begitu mengingatku. Aku pergi tidak untuk kembali. Aku pergi untuk selamanya. Aku pergi untuk kekal. Tidak ada lagi hujan yang kurasakan di kehidupan ini. Angin menyejukkan. Perasaan damai menyelimuti. Cinta begitu terasa hingga ke pori-pori ruang batin. 

Ketika beberapa tahun kemudian, seturut hitungan manusia, adik laki-lakiku yang sudah menyelesaikan sarjananya beberapa tahun lalu dan kini sudah memiliki pekerjaannya sendiri, datang bersama keluarganya membawa sekeranjang bunga sepe yang dipetiknya di belakang rumahnya. Dia datang sambil sekali lagi tersedu belum yakin tentang apa yang aku alami. Bukan karena dia tidak beriman. Bukan. Bukan karena dia tidak pernah berjumpa dengan pengalaman serupa. Bukan. Itu karena dia mencintaiku. Bukan hanya dia, adik-adikku yang lain pun melakukan hal yang sama. 

Hampir saja kicau burung aku lewatkan. Kicau itu pertanda bahwa sudah saatnya aku harus kembali memasuki kamar tidurku. Kamar yang terbuat dari dahan-dahan lontar halus dan wangi. Ada setapak yang rebah di antara rimbunnya pohon beringin. Lontar yang ada di sampingnya tidak diganggu gugat. Mereka saling menguatkan. Saling memberi hidup untuk keabadian. Ingin kukirim surat dari tempat di mana sekarang aku berada, namun apa daya Dia yang ada di depanku tetap mengingatkanku untuk mendoakan mereka satu per satu. Selamat tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun