Agar memutus pengaruhnya terhadap rakyat Indonesia, penjajah pun memutuskan untuk mengasingkan Bung Karno ke kota kecil di Pulau Flores bernama Ende.
Merujuk pada kemdikbbud.go.id, suatu ketika saat Bung Karno keluar dari rumah Muhammad Husni Thanrin, ia ditangkap oleh seorang Komisaris Polisi penjajah Belanda.
Bung Karno kemudian dijebloskan ke penjara selama 8 bulan tanpa ada proses pengadilan. Hingga kemudian keluarlah surat dari Gubernur Jenderal Belanda bernama De Jonge pada tanggal 28 Desember 1933 yang mengasingkan Bung Karno ke Ende Flores.
Bung Karno pun bertolak menuju ke tempat pengasingannya bersama keluarga, naik kapal barang KM van Riebeek melalui Surabaya.Â
Turut serta dalam perjalanan menuju pengasingannya di Ende adalah sang isteri waktu itu, Ibu Inggit. Selain itu, ikut pula anak angkat mereka Ratna Djuami, dan ibu mertuanya.
Rumah yang ditempati adalah milik Haji Abdullah Amburawau yang berada di Kampung Amburagaga, Kelurahan Kota Raja, Ende. Rumah tersebut memiliki 1 ruang tamu, 1 ruang tengah, dan 3 kamar tidur.
Di halaman depan, tumbuh 1 pohon sukun. Di sinilah, Bung Karno seringkali merenungkan dan menggali Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara.
Sayangnya, pohon sukun asli sudah roboh sekitar tahun 1960. Sebagai gantinya, ditanam 1 pohon sukun pada tahun 1981 yang dibentuk dengan 5 cabang.
Di bawah pohon sukun itu, dibuatkan juga patung Bung Karno yang duduk sambil melihat ke laut lepas di Pantai Ende, Flores.
Pohon sukun asli itulah yang menjadi saksi bisu ketika Bung Karno merenungkan impiannya akan masa depan bangsa Indonesia.