3. Otonomi Daerah Seluas-luasnya
Orde Baru dengan kekuasaan tertinggi di tangan Presiden Soeharto, menyebabkan semua roda pemerintahan tersentralistik. Semua keputusan terpusat pada Presiden Soeharto.Â
Sentralisasi kekuasaan ini menyebabkan daerah-daerah hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan saja dari pemerintah pusat. Tidak ada hak tertentu yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri.
Pasca tumbangnya Orde Baru, ditetapkanlah peraturan mengenai otonomi daerah. Beberapa peraturan dimaksud antara lain via TAP MPR XV Tahun 1998, TAP MPR Nomor IV tahun 2000 dan UU Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 serta UU tentang Otoda setelah itu.
Sayangnya, munculnya otoda juga sekaligus memunculkan persoalan baru. Dinasti daerah bermunculan. Kekuasaan pun menjadi rebutan.Â
Penguasa berkolaborasi dengan pemilik cuan yang banyak. Mereka lalu menjadi pengendali sistem pemerintahan di daerah. Muncullah raja-raja baru di daerah.Â
4. Hapus Dwi Fungsi ABRI
Hasil reformasi 1998 adalah mengembalikan fungsi tentara sebagai alat pertahanan negara. Istilah para demonstran kala itu adalah 'kembalikan tentara ke baraknya'.Â
Konsep dwi fungsi ABRI waktu itu, adalah menjadi kekuatan militer Indonesia sekaligus berfungsi sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara.
ABRI yang waktu itu terdiri dari 4 matra , yaitu Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Polisi kemudian berubah menjadi TNI dan POLRI. TNI dipisahkan dari POLRI yang kini sering disebut sebagai TNI/POLRI.
5. Hapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Pemberantasan KKN adalah salah satu agenda reformasi yang secara konsisten diperjuangkan di dalam kampus waktu itu. Sebab saat itu, kekuasaan hanya dibagi-bagikan kepada keluarga dan kroni penguasa.