El Nino 2023 belumlah berakhir. Memasuki tanggal belasan di bulan Oktober, belum ada tanda-tanda bakal ada hujan perdana setelah kemarau panjang. Mungkin ada di beberapa wilayah lain di Indonesia, namun tidak untuk Pulau Timor dan sekitarnya.
Langit selalu cerah, baik siang maupun malam. Tak ada awan berwarna ungu, apalagi yang namanya awan cumulonimbus yang biasa menurunkan hujan.Â
Guntur alias kean neno yang biasa rajin memperdengarkan bunyinya setiap bulan Oktober mendadak menghilang. Entah pergi kemana. Yang pasti bukan karena banyak penduduk Timor Barat yang masih tetap doyan pesta, mendendangkan lagu "Mendadak Dangdut" sambil bergaya mengikuti irama alunan kopi Dangdut.
Sementara itu, kelompok pohon jati dan mahoni yang rajin menggugurkan daunnya menjelang kemarau panjang, sudah tak tahan untuk memunculkan pucuk-pucuk mudanya.Â
Pohon buni dan nikis (entah bahasa Indonesia dan ilmiahnya apa, belum dicari ya) juga tak mau ketinggalan. Mulai memunculkan bunga warnanya merah (buni) dan warn kuningnya (nikis).Â
Bakung-bakung liar di pinggir jalan juga tak mau ketinggalan. Memunculkan bunganya yang khas dari dalam tanah. Merah, orange, dan putih. Mencoba untuk tetap menampilkan kecantikan alaminya setelah tidur lelap dalam waktu yang lumayan lama di dalam tanah.
Di tempat lain dalam wilayah yang sama, kelompok sapi dan kuda yang biasa rajin merumput di padang sabana mendadak menghilang. Bukan karena diambil yang empunya, tetapi berpindah tempat mengikuti sumber air yang masih tersedia.Â
Pikir ternak-ternak itu, yang paling penting bagi mereka adalah memuaskan dahaga dengan air yang masih layak diminum. Sementara pakan masih dapat dicari di sekitar sumber mata air.Â
Beruntunglah, di Timor sini tidak ada binatang buas semisal harimau, singa, macan, dan serigala yang tukang makan binatang lain itu. Cuma ada buaya yang ada di sekitar muara laut. Jika tidak, mungkin bakal lebih menyengsarakan rombongan herbivora sebab kelompok karnivora ini akan bersembunyi di sekitar sumber air untuk menangkap calon mangsa yang datang, tanpa kecuali.
Ibu-ibu dan anak remaja, saban hari pergi ke pinggir sungai yang masih dapat diambil airnya. Mereka mencuci pakaian sekalian mandi di sana. Pulangnya, membawa beberapa gayung air minum untuk dijerang menjadi air minum dan juga untuk memasak makanan bagi anggota keluarga.Â
Ah, maaf. Terlalu bersemangat untuk mendeskripsikan kondisi yang tengah dihadapi, Fenomena El Nino. Padahal El Nino dan fenomenanya, bukanlah hal yang baru.Â
Penduduk Timor Barat sudah kebal menghadapinya. Tak hanya di waktu muncul si El Nino yang katanya, bakal diikuti pula oleh pacarnya yang bernama La Nina ini. Tiap tahun, penduduk selalu menghadapi cekaman kekeringan nan panjang.
Tidaklah mengherankan, jika banyak kearifan lokal yang muncul di sana dalam rangka menjaga diri tetap survive ketika menghadapi cekaman kekeringan.Â
Strategi Sederhana Penduduk untuk Tetap SurviveÂ
Bagi penduduk yang hidup di kota, memiliki uang dan fasilitas yang mumpuni mungkin tidak akan pernah mengalami yang namanya masa kesulitan. Kekurangan bahan pangan dan menipisnya ketersediaan air bersih. Tetapi di kampung-kampung yang ada di Timor Barat, masih banyak yang mengalaminya.
Hanya saja, penduduk di kampung sudah mendapatkan 'warisan hidup' dari leluhur tentang bagaimana bertahan di tengah cekaman kekeringan nan panjang. Hidup tak boleh mengeluh, tetapi pergi mencari dan menemukan apa yang harus dibawa pulang ke rumah.Â
Inilah cara penduduk Timor Barat untuk tetap survive terhadap cekaman kekeringan, utamanya di kampung-kampung dan pelosok.
1. Membuat Oeleu atau Air Pemali
Hampir semua sumber mata air di Timor Barat merupakan Oelue atau Air pemali bagi suku tertentu. Tidak sembarangan orang memasuki kawasan Oeleu ini, apalagi untuk mengambil hasil-hasil yang ada di situ.
Jika ada yang masuk tanpa izin, maka sudah dipastikan akan diproses secara hukum. Biasanya didenda berupa kain adat dan ternak. Jumlah denda ditentukan oleh tua-tua adat setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif.
2. Larangan Tebang Pohon dan membakar di sekitar Oeleu
Setiap Oeleu memiliki pusat dan kawasannya. Orang tidak boleh menebang pohon apapun di dalam kawasan Oeleu. Termasuk membakar dengan maksud untuk mencari hewan buruan atau tujuan apapun.Â
Penetapan hukuman bagi yang melanggar aturan ini pun jelas, didenda. Selain denda, yang bersangkutan juga akan dinasihati dan diperingatkan untuk tidak mengulang perbuatannya. Jika masih melakukannya, maka denda akan ditingkatkan lebih besar lagi.
3. Memagari Pusat Oeleu
Pusat Oeleu dipagari dengan maksud tidak diganggu oleh hewan seperti babi dan sapi yang seringkali mencari pakan dan air. Ternak-ternak ini biasanya merusak lingkungan sekitar.Â
Babi membuat kubangan sekehendak hati dan menggigit akar-akar tanaman yang bisa membuat tanaman mati. Sapi pun demikian, merusak tanaman yang ada, termasuk merusak tempat-tempat keramat yang dijadikan sebagai sarana pemujaan terhadap Tuhan bagi orang Timor Barat.
Ternak-ternak dapat menikmati air yang mengalir keluar dari Oeleu tersebut. Pemilik Oeleu akan membuat tempat khusus sebagai tempat minum sapi, babi, kambing dan binatang lainnya.
4. Menanam Tanaman Umur Panjang dan Ekonomis
Selain pohon-pohon alam yang tumbuh sendiri, pemilik Oeleu juga memperbanyak tanaman di sekitar dengan aneka tanaman umur panjang dan ekonomis. Tanaman umur panjang yang biasa di tanam di sekitar Oeleu antara lain kelapa, pinang, sirih. Juga ada aneka jeruk, mangga, nangka, pisang, dan sukun.
Selain itu, di bawah tanaman umur panjang ditanam pula talas dan beberapa tanaman lain yang masih bisa tumbuh dengan sinar matahari yang lebih sedikit.Â
5. Melakukan upacara adat di Oelue
Merawat Oeleu adalah keharusan untuk orang Timor Barat. Selain mengawasi, mengairi tanaman, dan mengambil hasil, salah satu kegiatan penting di dalam Oeleu adalah melakukan upacara adat.Â
Upacara adat ini merupakan bagian dari tradisi mengucap syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa. Juga menjadi sarana membangun komunikasi dengan leluhur yang telah meninggal.Â
Ada tiga komponen penting yang biasa disebutkan di dalam upacara adat penduduk Timor Barat di pedesaan. Ketiga hal penting dimaksud adalah:Â (1) menyampaikan maksud dan tujuan, (2) mengucap syukur atas rahmat yang telah diperoleh, dan (3) meminta rahmat berupa kesehatan dan rezeki selanjutnya bagi anggota keluarga yang masih hidup.Â
Inilah kearifan lokal penduduk Timor Barat dalam rangka tetap survive ketika menghadapi cekaman kekeringan panjang. Tradisi ini telah diperoleh secara turun-temurun.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H