Pepohonan mulai meranggas. Rumput-rumput terlihat berubah warna, dari hijau ke cokelat. Kering-kerontang.
Sungai-sungai berkurang debit airnya dan berlumut. Bahkan jalur aliran airnya terputus, mengering.Â
Beberapa ibu tampak menjunjung wadah di atas kepala, pergi mencari air bersih. Mengambil sekedarnya untuk air minum dan memasak.Â
Aktifitas mandi dan mencuci pakaian dilakukan di sungai yang masih ada aliran airnya. Menghemat air di rumah agar tidak bolak-balik mengangkut air.
Demikian perjalanan kami menyusuri beberapa ruas jalan di daratan Timor bagian barat, tanggal 17-19 Juni 2023.
Perjalanan dari Kota Kupang ke kampung halaman kami di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sekira 5 jam. Itu pun baru sampai di Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU.
Perjalanan selanjutnya, menuju Lurasik salah satu kota kecil di perbatasan dengan Kabupaten Belu. Lalu dilanjutkan ke Desa Kuluan, Kecamatan Biboki Feotleu.
Pemandangan dan kondisi hampir tetap sama. Beberapa kali, terlihat kawanan sapi sedang mencari makan di pinggir jalan.Â
Rumput dan dedaunan kering menjadi santapan utama ternak-ternak ini. Bahkan kulit kayu mahoni, jati dan pohon lain pun digigit dan dimakan.
Ternak sapi mulai kesulitan mendapatkan pakan hijau. Apa yang ada, dicoba untuk dimakan. Jangan heran jika tanaman yang pagar sering dirusak ternak ini.Â
Ternak yang telah merusak pagar kebun pun menyerbu masuk. Memakan isi kebun yang masih ada semisal singkong, jagung. Pisang, pepaya dan kacang-kacangan.
Beberapa ternak yang dipelihara dengan cara diikat, ditambatkan di bekas sawah yang telah dipanen. Mereka masih bisa makan jerami ladi atau rerumputan yang tumbuh di atas pematangan.
Situasi dan kondisi seperti ini selalu terlihat sepanjang musim. Beberapa fasilitas bantuan seperti program perpipaan air bersih hampir tak berfungsi di musim kemarau. Mata air pun kering sehingga hampir tak ada aliran air.
Embung-embung kecil yang dibangun untuk mendukung ternak dan tanaman juga tak mampu berfungsi banyak. Tinggal sedikit air, bahkan mengering.
Ah, lingkungan atoni pah meto yang kering ini tak pernah membuat penduduknya menyerah. Kehidupan tetap berlanjut di sini.
Petani tetap berkebun, termasuk memanen hasil di musim kemarau. Saat ini, asam dan kemiri sudah bisa dipanen. Sedangkan jambu mente bsru akan dipanen di bulan November.
Sirih dan pinang juga menjadi komoditas unngulan untuk dijual ke pasar. Tak ada yang tak bisa dijual, asal ada usaha.
Sapi, kambing, babi, dan ayam juga tetap diandalkan untuk menopang ekonomi kelaurgs. Termasuk dijual untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Apapun yang terjadi, penduduknya akan tetap bertahan. Sebab banyak kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang penduduk Timor untuk menaklukkan alamnya yang kering.Â
Atoni pah meto akan tetap bertahan di pah meto mereka, pulau nan kering.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H