Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekenanya Saja, Tak Etis Membandingkan Media Lain dengan Maksud Melecehkan

14 Juni 2023   07:50 Diperbarui: 14 Juni 2023   08:50 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kata bijak dan foto Gus Mus (sumber: NU on twitter)

Saat ini begitu banyak media yang mencoba menyajikan berbagai informasi. Berlomba-lomba menyajikan berita terbaru dengan maksud untuk mampu menyedot perhatian para penikmat informasi. 

Sesama media online saling bersaing untuk memberitakan sesuatu dengan caranya sendiri. Mulai dari mengemas judul, memuat foto atau potongan video pendek yang menarik, hingga konten berita yang bervariatif.

Bahkan sering terasa, isi berita atau konten tak relevan dengan judul. Tetapi tak perlu diperdebatkan. Pada akhirnya, pembaca atau pemirsalah yang harus memilih dan memilah, mana yang cocok baginya. 

Terserah pada yang bersangkutan. Apakah sekedar membaca berita gosip tentang si anu dan si ana yang lagi proses cerai. Ataukah lebih tertarik  tentang si meong yang lagi pedekate sama si empus. 

Lalu bagaimana pula dengan persaingan para pembuat konten, penyaji berita dan sajian lain yang butuh kerja cepat dan diakses banyak orang? Kan semakin diakses, iklan pun semakin nempel. 

Dan selanjutnya, cuan mengalir ke dalam kantong si pembuat konten. Sumringah jadinya kala mengetahui banyak cuan di dalam rekening aplikasi miliknya. 

"Tidak semudah itu, Ferguso",  kata anakku menirukan frasa yang pernah viral. Ungkapan yang muncul dalam percakapan di dalam telenovela Marimar asal Mexico itu. 

What ever-lah. Lebih penting para pembuat konten atau tulisan dalam suatu media tak menganggap media lain lebih rendah dari yang dikelolanya. 

Setiap media, punya segmen tertentu yang ingin dibidiknya. Kalau tujuannya sama, untuk menggaet para pemasang iklan di media Anda maka buatlah sesuai persyaratan sehingga pengiklan pun tertarik. Lalu nebeng iklan.

Tak semestinya menjelekkan media lain. Atau berlebihan memuji diri. Bahwa diri sendiri itu yang paling berkualitas. Ingatlah pepatah jadul, Di atas langit masih ada langit. 

Lebih baik, menata diri secara baik-baik dan tampil dengan rendah hati tetapi nampak elegan. Tentunya, gaya dan ciri khas diperlukan. 

Blog Kompasiana misalnya. Memberi ruang bagi setiap orang untuk menulis.  Tentang apa saja yang ada di sekitar yang dianggap layak untuk dibagikan dalam bentuk tulisan.

Bagi mereka yang gemar membaca karya-karya orang, bisa juga membahasakan ulang karya tersebut di akun Kompasiananya. Dengan gaya cerita yang berbeda. Namun menyertakan siapa atau media pemilik tulisan yang menjadi inspirasinya itu.

Secangkir kopi pahit menjadi manis saat ditambahkan gula, bahkan makin mantap ketika dibuat variasi lain (dokpri)
Secangkir kopi pahit menjadi manis saat ditambahkan gula, bahkan makin mantap ketika dibuat variasi lain (dokpri)

Banyak pula penulis yang sudah malang-melintang, termasuk penghasil buku bernas 'memarkirkan' artikelnya di Kompasiana.  Mungkin merasa nyaman saja ngetem di sini.

Blog keroyokan dengan jumlah member hingga 3 jutaan lebih ini pun mengajarkan satu hal, "Setiap penulis konten bertanggung jawab untuk isi tulisannya sendiri".  

Sekalipun dibebaskan, tetaplah ada rambu-rambunya. Tulisan-tulisan yang dianggap bisa mengganggu "Stabilitas Kompasiana" dibabat habis dari laman Kompasiana.

Jika Mbak Inul Daratista meminta penonton untuk tak heran agar tak usah heran menyaksikan goyangannya maka pengelola Kompasiana juga mungkin demikian. Tak perlu heran ketika tiba-tiba tulisan kita dihapus karena melanggar ketentuan yang berlaku.

Lah, kok bahasnya kemana-mana ya? Makin ke bawah makin terlihat seperti curhat saja. "Ya biarin aja", kata almarhum Gus Dur yang menjadi satu dari sedikit tokoh idola saya. 

Paling penting kan saya tak menjelek-jelekkan  tulisan atau artikel orang lain. Toh setiap orang punya gaya yang unik. 

Tak bisalah saya memaksa orang lain menulis dengan gaya  tulis saya. Jika demikian, kan jadinya seragam. 

Seragam itu membosankan juga, cuma satu warna dengan desain yang sama persis. Luarnya dipaksa seragam walaupun dalamannya beraneka ragam. Lihatlah balon di dalam ruangan. Begitu indah dan semarak jika terdiri dari beberapa warna.

Banyak warna itu indah lho bro and sis. Tak jenuh memandangnya. Tak bosan membacanya. Tak henti-hentinya kembali pula untuk ke sana lagi.

Aneka warna balon dalam satu ruangan terlibat lebih semarak daripada hanya satu warna (dokpri)
Aneka warna balon dalam satu ruangan terlibat lebih semarak daripada hanya satu warna (dokpri)

Itulah alasan, kenapa saya kembali lagi untuk 'memarkir' diri di blog keroyokan hebat ini, KOMPASIANA.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun