Blog Kompasiana misalnya. Memberi ruang bagi setiap orang untuk menulis. Â Tentang apa saja yang ada di sekitar yang dianggap layak untuk dibagikan dalam bentuk tulisan.
Bagi mereka yang gemar membaca karya-karya orang, bisa juga membahasakan ulang karya tersebut di akun Kompasiananya. Dengan gaya cerita yang berbeda. Namun menyertakan siapa atau media pemilik tulisan yang menjadi inspirasinya itu.
Banyak pula penulis yang sudah malang-melintang, termasuk penghasil buku bernas 'memarkirkan' artikelnya di Kompasiana. Â Mungkin merasa nyaman saja ngetem di sini.
Blog keroyokan dengan jumlah member hingga 3 jutaan lebih ini pun mengajarkan satu hal, "Setiap penulis konten bertanggung jawab untuk isi tulisannya sendiri". Â
Sekalipun dibebaskan, tetaplah ada rambu-rambunya. Tulisan-tulisan yang dianggap bisa mengganggu "Stabilitas Kompasiana" dibabat habis dari laman Kompasiana.
Jika Mbak Inul Daratista meminta penonton untuk tak heran agar tak usah heran menyaksikan goyangannya maka pengelola Kompasiana juga mungkin demikian. Tak perlu heran ketika tiba-tiba tulisan kita dihapus karena melanggar ketentuan yang berlaku.
Lah, kok bahasnya kemana-mana ya? Makin ke bawah makin terlihat seperti curhat saja. "Ya biarin aja", kata almarhum Gus Dur yang menjadi satu dari sedikit tokoh idola saya.Â
Paling penting kan saya tak menjelek-jelekkan  tulisan atau artikel orang lain. Toh setiap orang punya gaya yang unik.Â
Tak bisalah saya memaksa orang lain menulis dengan gaya  tulis saya. Jika demikian, kan jadinya seragam.Â
Seragam itu membosankan juga, cuma satu warna dengan desain yang sama persis. Luarnya dipaksa seragam walaupun dalamannya beraneka ragam. Lihatlah balon di dalam ruangan. Begitu indah dan semarak jika terdiri dari beberapa warna.