Arus mudik menjelang Idul Fitri telah berlalu dan digantikan dengan arus balik. Keluarga yang mudik, baik untuk merayakan lebaran bersama keluarga maupun sekadar berlibur mulai kembali masuk Jakarta dan sekitarnya.Â
Beberapa hari setelah lebaran, arus balik sudah mulai ramai. Presiden Joko Widodo menyampaikan, puncak arus mudik tertinggi terjadi pada tanggal 24-25 April 2023.
Sementara informasi dari Kepala Humas KAI Daop I Jakarta Eca Chairunisa seperti yang diberitakan oleh metro.tempo.co menyatakan, arus balik telah mencapai 43 ribu pemudik per tanggal 24 April 2023. Itu baru menghitung pemudik yang kembali dengan menggunakan transportasi kereta api.
Sementara Kementerian Perhubungan RI menyebutkan, kendaraan yang datang dari arah timur jalan tol dan dari arah Bandung setiap harinya kini lebih tinggi dari kondisi normal.Â
Jika dalam kondisi normal adalah 53 ribu kendaraan maka saat kini terpantau hingga 203 ribu kendaraan setiap harinya. Demikian diberitakan dalam kemekopmk.go.id.Â
Jumlah arus balik yang banyak itu tak semuanya adalah mereka yang sudah lama bekerja di Kota Jabodetabek. Artinya, hanya berlibur dan mudik ke kampung asalnya karena mendapatkan jatah liburan panjang. Tetapi terselip pula pendatang baru yang ingin mencari kerja.Â
Kompas.id memberitakan bahwa untuk arus balik mudik lebaran 2023, Dinas Dukcapil DKI Jakarta memprediksi bakal ada 40 ribu orang pendatang baru ke Jakarta. Kedatangan mereka terkait dengan usaha mencari pekerjaan. Jumlah demikian bisa jadi lebih banyak atau kurang. Namun angka tersebut tidaklah sedikit.Â
Tambahan beban ini, perlu direspon dengan bijak oleh pemerintah di mana kotanya menjadi sasaran pencarian kerja.Â
Lantas mengapa arus balik mudik lebaran seringkali diboncengi dengan kedatangan para pencari kerja baru? Paling tidak ada tiga hal yang menjadi latar belakangnya.
Hal pertama karena terpengaruh cerita sukses
Para pemudik yang pulang kampung sering kali menjadi bahan pengamatan dan perbincangan. Apalagi terlihat pulang membawa oleh-oleh yang banyak dan berbagi dengan sanak famili. Belum lagi membawa kendaraan, baik milik sendiri maupun sewa.Â
Penampilan ala kota yang modern semakin membuat orang-orang desa merasa ingin melakukan hal yang sama. Pergi ke kota untuk mencari kerja. Apalagi sempat mendengar cerita-cerita dari para pemudik yang terkesan sukses bekerja di kota besar.Â
Apalagi ketidakjujuran melengkapi cerita-cerita sukses semu yang ada. Menyewa mobil yang direntalkan tetapi tidak jujur bahwa mobil tersebut adalah mobil rental. Bila perlu dibungkus rapat-rapat kata rental dan yang terlihat adalah milik pribadi.Â
Kedua, pembagian kue lapangan kerja tak berimbang
Setuju atau tidak, pembagian kue yang bernama lapangan kerja di kota dan desa hingga kini belum berimbang. Lapangan pekerjaan lebih terkonsentrasi di kota. Sektor-sektor yang dapat diterapkan di kota lebih banyak daripada di desa. Mulai dari ASN hingga pegawai swasta, termasuk penyediaan jasa pelayanan.
Meskipun banyak lapangan kerja tersedia di kota, tak semua pencari kerja dapat menemukan pekerjaan terbaik seperti yang dibayangkan di saat awal melakukan urbanisasi. Jangankan mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Untuk bekerja sementara di sektor informal pun sulit diperoleh.
Akibatnya, para pendatang baru ini tidak mampu mendapatkan pekerjaan. Menjadi pengangguran di kota besar. Sementara, kebutuhan dasar pribadi dan keluarga tetap harus dipenuhi.Â
Ketiga, ingin hidup lebih sejahtera
Semua orang tentunya punya tujuan hidup yaitu ingin sejahtera. Sekalipun pengertian sejahtera itu sangatlah luas, paling tidak pemikiran sederhananya adalah hidup berkecukupan.Â
Makan, minum, pendidikan anak dan kesehatan keluarga dapat terjamin. Syukur-syukur bisa mencapai tingkat yang lebih tinggi, memiliki rumah bagus, kendaraan dan ada tabungan di hari tua.Â
Magnet kota besar, ditambah dengan cerita-cerita sukses dari sahabat yang mudik kemudian menjadi semacam pemantik. Mereka yang belum berani untuk merantau ke kota, menjadi bersemangat ketika melihatÂ
Strategi Pemerintah Menghadapi Gelombang Pencaker Baru
Gelombang pencari kerja alias pencaker memang tak pernah berhenti mengalir, dari desa ke kota-kota besar. Menghadapi tradisi ini, pemerintah kota memasang strategi. Dari yang sifatnya mengimbau, menjembatani hingga menerapkan aturan administrasi kependudukan.Â
Perihal arus balik dan bertambahnya pencari kerja pasca Lebaran 2023, pemkot DKI Jakarta juga menerapkan beberapa strategi seperti yang disampaikan oleh Heru Budi Hartono sebagai penjabat Gubernur DKI Jakarta.
Pertama, menempuh strategi kependudukan untuk mengendalikan masuknya penduduk baru.Â
Kedua, mengimbau pemudik untuk tidak membawa pulang keluarga dan sahabat saat kembali. Terutama bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan yang sering kali menjadi syarat untuk diterima bekerja pada instansi tertentu.
Selain itu, Pemkot DKI juga memfasilitasi pemberi kerja dengan para pencari kerja untuk memudahkan penyerapan tenaga kerja. Berbagai kegiatan seperti job fair perlu diadakan lebih sering dan profesional.Â
Lebih dari itu, secara nasional hendaknya pemerataan kue lapangan kerja ke desa lebih ditingkatkan lagi. Tak hanya sekedar melakukan program yang sifatnya padat karya dan insidensil tetapi membangun usaha-usaha produktif dan menjembatani distribusi produk desa yang sering terkendala.Â
Semoga urbanisasi tidak menambah problematika di kota-kota besar, utamanya di Kota Jakarta dan sekitarnya. Dan semoga perhatian pemerintah untuk mengembangkan produk di desa.Â
Ada usaha mebel, bengkel, dan usaha kerajinan lain dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi keinginan generasi muda untuk pergi mencari kerja di kota besar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H