Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pejabat Kena OTT Korupsi dan Suap, Apa yang Salah?

17 April 2023   13:38 Diperbarui: 17 April 2023   14:40 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada pejabat kena Operasi Tangkap Tangan alias OTT korupsi dan suap. Teranyar, di bulan April 2023 ini saja KPK telah melakukan OTT terhadap bupati Kepulauan Meranti-Riau, pejabat DJKA Kemenhub dan Walikota Bandung. 

Tak tanggung-tanggung. Dalam waktu sekejap, puluhan oknum yang terkait dalam kasus ini pun kena ciduk. Ditahan karena kasus suap dan korupsi. Dan sebagian kemudian ditetapkan sebagai tersangka. 

Itu baru dalam satu bulan saja. Berita tentang penangkapan dan proses hukum terhadap pejabat koruptor sudah semakin banyak dilakukan. Mari kita lihat data dari kpk.go.id. Perkara yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dari tahun ke ke tahun mengalami peningkatan. 

Di tahun 2017, terdapat 84 perkara inkracht. Lalu menjadi 106 perkara di tahun 2018. Pemberian hukuman, nampaknya tidak membuat para pejabat gentar untuk melakukan korupsi, bermain dengan suap dan menerima gratifikasi. 

 Tahun 2019  perkara inkracht makin naik menjadi 142 perkara. Dan tiada tahun tanpa kasus. KPK menetapkan 109 kasus pada tahun 2020.   Sedikit menurun di tahun 2021, yaitu sebanyak 95 perkara. 

Perkara inkracht tahun 2022 menjadi 134 kasus yang terdiri dari kasus tertunda dan kasus 2022. Sementara di bulan April 2023 saja, sudah ramai kasus OTT korupsi pejabat di tanah air. 

Konpers KPK terkait OTT DJKA Kemenhub yang disebut sebagai THR senilai Rp 14,1 M (dok foto: Tiara Aliya/Detikcom)
Konpers KPK terkait OTT DJKA Kemenhub yang disebut sebagai THR senilai Rp 14,1 M (dok foto: Tiara Aliya/Detikcom)

Lantas, apa yang salah dengan bangsa dan negara kita sehingga banyak pejabat yang melakukan tindakan korupsi dan suap? Dan terlihat pula, yang bersangkutan merasa biasa-biasa saja manakala diperlihatkan pada publik. Tak hanya itu, di penjara pun masih mendapatkan perlakuan istimewa.

Mau dibilang budaya pun tidak, sebab kita tidak akan pernah mengakui bahwa korupsi, suap dan aneka jenis tindakan yang merugikan negara termasuk budaya kita. Lalu mengapa korupsi dan suap semakin dipraktikkan oleh para pejabat yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat?

Hemat saya, terdapat tiga hal yang sudah menjadi kebiasaan mereka yang gemar melakukan praktik suap dan korupsi. Ketiga faktor dimaksud adalah bahwa jabatan sering diperoleh dengan cara suap. Lalu  yang bersangkutan juga menjalankan praktik gaya hidup mewah. Dan yang ketiga, hukuman terhadap koruptor sangatlah ringan. 

Dan Bupati Kepulauan Meranti pun kena OTT KPK terkait korupsi dan suap (dok foto: kompasTV)
Dan Bupati Kepulauan Meranti pun kena OTT KPK terkait korupsi dan suap (dok foto: kompasTV)

Memperoleh Jabatan via Suap dan Korupsi

Jika sebelum jaman reformasi, tindakan KKN cenderung terpusat maka tindakan korupsi dan suap kini tersebar di seluruh wilayah tanah air. Supaya tidak dibilang menuduh, maka kita katakan oknum. Ya, oknum pejabat dari berbagai daerah, sering tertangkap basah melakukan tindakan yang merugikan negara. 

Saat ini, untuk mendapatkan sesuatu jabatan maka orang tak malu lagi menggunakan uang. Menyediakan sejumlah uang tertentu  untuk memperlancar tujuan mereka. 

Suap, dimulai dari nilai yang mungkin terlihat sedikit. Kasus money politics yang dilancarkan oleh oknum caleg tertentu, menjadi salah satu contoh. Di sini, rakyat yang menerima uang dari caleg tertentu, termasuk dalam kategori menerima suap meskipun nilainya hanya IDR 50.000 - IDR 100.000 per kepala. 

Keinginan untuk mendapatkan jabatan dengan cara-cara curang ini pun menuntut para oknum tersebut untuk menyediakan jumlah uang yang tak kecil nilainya. Belum lagi, mereka harus menyetor sejumlah uang tertentu kepada para pemegang kartu as untuk mendapatkan tiket masuk. 

Alhasil, yang bersangkutan harus berhutang ke sana-sini. Hutangnya pun sangat besar. Dan ketika berhasil, maka sudah tentu ia harus mencari uang untuk melunasi hutang-hutang dimaksud. Jalan terpendek, menerima suap atau melakukan korupsi ketika ada peluang untuk melakukannya. 

Ya, berawal dari memberi suap lalu menerima suap. Prinsip yang sering dianut oleh mereka yang menerima suap. Sayangnya, supa yang mereka terima pun berasal dari uang negara. Jadinya, negara makin rugi sementara oknum makin kinclong apabila tidak tertangkap. 

Berhenti memberi atau menerima uang dalam perhelatan politik (dok foto: twitter@poldabengkulu)
Berhenti memberi atau menerima uang dalam perhelatan politik (dok foto: twitter@poldabengkulu)

Bergaya Hidup Mewah

Banyak orang bergaya hidup mewah. Suka pamer akan kemewahan meskipun harta yang dipamerkan tersebut diperoleh melalui cara-cara yang tidak benar. Baru menyesal ketika terciduk akibat pamer harta. 

Padahal, KPK dan para intel lain tersebar di sekitar. Para pejabat yang pamer ini tidak sadar, bahwa cara mereka mempublikasikan kemewahan diri merupakan pintu masuk bagi KPK untuk nenyelidiki muasal hartanya. 

Hukuman bagi Koruptor Masih Sangat Ringan

Faktor lain yang membuat oknum-oknum pejabat tidak jera adalah karena hanya mendapatkan hukuman yang ringan. Sebenarnya, hukuman terhadap koruptor terbagi atas 5 kategori menurut Peraturan Mahkamah Agung N0 1 Tahun 2020.

Kelima kategori tersebut adalah paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan. Paling berat adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. 

Peraturan Perampasan aset koruptor yang baru-baru ini digaungkan untuk disahkan, juga belum terlaksana. Entahlah kelambanan ini ada di pihak mana. 

Syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor versi Perma no 1 tahun 2020 (dok foto: indonesiabaik.id)
Syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor versi Perma no 1 tahun 2020 (dok foto: indonesiabaik.id)

Intinya, apabila hukuman tidak diperberat maka tindakan korupsi dan suap nampaknya akan semakin subur. Keseriusan dan komitmen para penegak hukum di Indonesia juga perlu didukung oleh seluruh komponen bangsa ini. Termasuk masyarakat agar tidak menerima suap dalam bentuk apapun menjelang pesta demokrasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun