Pamer kekayaan via media sosial kini bisa berujung petaka. Harta yang dipamerkan dengan maksud menuai pujian, ternyata 'memancing' pihak berwajib untuk menelusuri. Darimana sumber cuan yang ia atau keluarga miliki. Apakah aliran cuan yang disimpan itu wajar dan sesuai dengan jabatan yang dimiliki, dan sebagainya.
Fenomena pamer harta benda sudah ada sejak jaman dahulu. Hanya saja pamer harta di jaman old tak seheboh jaman now. Sebabnya, tentu saja karena dukungan teknologi informasi yang luar biasa. Cukup membuat aneka konten yang wah, jadilah ditonton banyak orang.
Sultan-sultan baru, bermunculan di media sosial. Mematut diri sebagai orang terkaya dengan harapan menimbulkan komentar kekaguman dari followers-nya. Dan dalam situasi yang bersamaan, pembuat konten mendapatkan keuntungan endorsement. Mendapatkan cuan dari iklan-iklan yang semakin menambah pundi-pundinya.
Salah satu kelompok yang sering pamer, adalah kaum Orang Kaya Baru. Barangkali ingin diakui oleh publik, bahwa kini ia sudah masuk dalam kelompok elit. Mungkin juga ingin menyampaikan bahwa hasil kerja kerasnya selama ini telah membuahkan hasil. Punya rumah elit, mobil mewah, dan kehidupan mewah lainnya.
Selain kelompok OKB, ada pula anak-anak pejabat yang gemar pamer kekayaan. Fasilitas mewah yang disediakan oleh orang tua, dipamerkannya pada sahabat-sahabatnya. Atau paling gampang, membuat konten-konten diri, lalu dimuat di media sosial yang banyak jenisnya pula. Padahal, penghasilannya belum ada. Yang dipamerkan adalah harta orang tua.
Tetapi apakah kita harus panas dingin saat secara kebetulan membuka dan menyaksikan konten para sultan itu? Jawabannya berpulang kepada masing-masing. Saya pribadi tidak ambil pusing. Sebab saya memiliki tujuan dan gaya hidup yang berbeda dengan orang lain.
Tentu saja tak boleh berhenti pada diri sendiri. Harus mendidik keluarga, utamanya anak-anak untuk tidak gila harta. Tidak menonton konten-konten pamer harta lalu ingin meniru gaya-gaya tersebut. Konten yang merasuk pikiran anak-anak, dapat mengubah orientasi mereka, “Menyembah harta”.
Pamer harta benda atau saat ini lebih keren dibilang flexing itu sebenarnya tak perlu-perlu amat. Tak ada untungnya, bahkan merugikan dan berakhir di dalam penjara.
Pamer Harta Berujung Petaka
Saat ini, banya sekali contoh viral orang pamer harta lewat media sosial. Pamer membuang uang, pamer mengenakan emas di seluruh badan dan kaki. Laksana toko emas berjalan. Yang lainnya, pamer harta lain berupa mobil mewah, rumah elit dan sebagainyan.
Entah apa yang melatarbelakangi si pemilik harta pamer. Apakah ingin menunjukkan pada dunia bahwa inilah aku. Tak ada yang bisa menandingi diriku. Atau boleh jadi, sekedar iseng dan caper alias cari perhatian dari publik.
Namun kenyataannya lain. Boro-boro mendapatkan pujian. Malah kena hujat netizen, dan lembaga yang berwajib pun mulai ikut merapat. Menelusuri harta keluarga, membuat suasana mulai panik dan tak nyaman. Tentu saja itu bagi orang kaya yang mendapatkan hartanya dengan cara tak wajar.
Yang bersangkutan baru kaget setelah pamer. Flexing yang tak menuai pujian, tetapi berujung petaka. Contoh paling fresh, kasus Mario Dandy yang sebelum jatuh pada kasus penganiayaan David, ternyata telah lama pamer harta yang disediakan oleh orang tuanya.
Keluarga itu Harta Berharga
Harta yang paling berharga, adalah keluarga. Makanya, saya suka menonton sinetron Keluarga Cemara. Juga menyanyikan potongan lagu Harta Berharga yang pernah dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari lewat ost Keluarga Cemara.
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga...
(BCL)
Ya, keluarga itu harta yang tak ternilai. Keutuhan keluarga itu jauh lebih penting daripada harta yang berlimpah-limpah. Memang semua orang butuh harta, namun harta bukanlah segala-galanya.
Sandra Dewi, artis kaya itu misalnya. Ia tak mau pamer cuan atau harta lain. Yang dipamerkan adalah kehidupan bersama keluarga kecilnya. Bagaimana mencurahkan kasih sayang, tak melimpahi mereka dengan harta. Tetapi mendidik anak-anak untuk belajar bentanggung jawab sejak kecil.
Barangkali, apabila ingin mencari figur yang hendak diidolakan maka perlulah mengidolakan orang yang hidupnya tak pamer harata. Tetapi lebih banyak melakukan kegiatan kemanusiaan tanpa banyak pamer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H