Di Kupang NTT, harga beras rata-rata sudah naik sebesar 10-17 persen. Beras termurah di pasar yang tadinya Rp 10.000 per kg, kini dijual dalam range Rp 11.000 - Rp 12.000 per kg. Di tempat lain seperti di Kefamenanu, Kabupaten TTU, NTT harga beras naik hingga Rp 16.000 per kg.
Hasil pantauan ekonomi.bisnis.com, di Pasar Palmeriem Matraman, Jaktim per 3 Maret 22023 juga menunjukkan adanya kenaikan harga beras. Harga beras premium rata-rata naik sebesar Rp 1.000 per 5 kg.
Ini baru tentang beras. Belum lagi barang kebutuhan lainnya seperti daging, ikan dan telur. Juga cabai dan bawang serta produk lain yang biasanya ikut menaik.
Untuk daging sapi, harganya turun tipis per 1 Maret 2023 dari Rp 134.100 menjadi Rp 130.150 per kg (viva.co.id). Namun banyak pihak memprediksi bakal naik sampai puncaknya menjelang lebaran. Karena itu, banyak pihak sudah mewanti-wanti Bulog dan instansi terkait untuk dapat mengatur pasokan daging ini dengan baik dan lancar.
Masalah Klasik Setiap Tahun
Apabila kita melihat ke belakang, maka kenaikan harga produk pangan selalu terjadi setiap tahun. Utamanya di penghujung tahun dan menjelang Ramadan hingga Lebaran.
Padahal, Bulog sebagai suatu badan usaha negara, tentunya memiliki SDM mumpuni yang mampu mengestimasi kebutuhan penduduk. Terutama saat menghadapi peristiwa-peristiwa besar. Ini kan bukan emergency. Tetapi peristiwa yang bakal selalu ada setiap tahun.
Nampaknya Bulog belum mampu memainkan tugas dan fungsinya dengan baik. Operasi Pasar yang biasa dilakukan, terkesan sekedar menjalankan rutinitas belaka. Biar terlihat, bahwa Bulog melakukan Operasi Pasar.
Buktinya, sekalipun Bulog turun tangan harga tak serta merta bisa dinetralisir. Harga produk tetap naik. Harga produk berjalan bebas, mengikuti mekanisme  pasar.
Lalu, untuk apa Bulog hadir jika tak mampu menangani distribusi pangan dengan baik di Indonesia? Untuk apa juga memiliki kantor pusat, kantor cabang, kantor cabang pembantu dan komplek pergudangan yang tersebar di Indonesia?