Bangun lebih awal, tidur paling akhir. Tinggalnya pun di dapur, berdekatan dengan gudang. Beruntunglah, PRT yang tinggal di luar. Bisa datang dan pulang sesuai dengan kesepakatan. Paling tidak, setelah semua pekerjaan harian dinyatakan beres oleh majikan.
Pembantu Rumah Tangga disingkat PRT. Belakangan berubah menjadi ART, Asisten Rumah Tangga. Sebutan asisten, nampaknya dirasa lebih keren daripada pembantu. Namun pertanyaannya adalah apakah beban kerja mereka menurun dan tingkat kesejahteraan meningkat seiring dengan perubahan sebutan tersebut?
Barangkali jawabannya akan relatif. Tergantung pada setiap rumah tangga yang mempekerjakan orang lain menjadi pembantu di rumah. Ada yang memperlakukan pembantu dengan sangat baik, bahkan dianggap sebagai keluarga. Ada yang standar saja dan ada yang menganggap PRT sebagai babu, mirip-mirip zaman dahulu kala.
Pembantu yang tinggal di luar, mungkin memiliki waktu kerja yang lebih singkat daripada mereka yang tinggal di dalam rumah sang majikan. Namun seringkali pembantu yang tinggal di rumah majikan bekerja melebihi batas waktu.
Para pembantu yang tinggal bersama majikan ini harus bangun tidur lebih awal, saat tuan dan nyonya masih pulas di peraduannya. Dan ketika malam tiba, mereka harus menyelesaikan pekerjaan rumah di saat pemilik rumah telah tertidur di kamar mereka. Ya, bangun lebih awal dan tidur paling akhir.
Kehadiran para pembantu rumah tangga ini seringkali tak dianggap oleh tuan dan nyonya rumah. Upah mereka, tak sebanding dengan beban kerja yang melekat padanya. Kesalahan sedikit, akan mendapatkan hukuman. Dimarahi, dikatai dengan maksud merendahkan pembantu, diancam akan memotong gajinya, hingga dicubit. Bahkan pada beberapa kasus, dipukul dan disetrika.
Majikan yang mempekerjakan pembantu, baru sadar ketika ditinggal pembantu karena mudik dan tak pulang-pulang. Mereka merasa sangat terbebani saat mengambil alih peran pembantu. Namun cepat melupakan beban kerja tersebut, manakala mendapatkan pembantu rumah tangga yang baru.Â
5.625 Kasus Kekerasan pada PRT tahun 2017-2022
Data dari Jala PRT alias Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang dirilis oleh metrotvnews.com menyebutkan, tercatat sebanyak 5.265 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang tahun 2017 hingga 2022.Â
Dari kasus tersebut, sebanyak 1.635 kasus multi kekerasan yang berakibat fatal. Kekeran fisik dan psikis sebanyak 2.021 kasus. Dan kekerasan ekonomi mencapai 1.609 kasus.
Angka tersebut, adalah kasus yang tercatat karena dilaporkan. Masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Takut kehilangan pekerjaan, diancam oleh pelaku, atau diselesaikan secara kekeluargaan.
Pentingnya UU Perlindungan PRTÂ
Banyaknya kasus kekerasan fisik dan psikis serta pengabaian hak-hak pembantu rumah tangga membuat masyarakat sipil untuk mendorong DPR agar membahas RUU Perlindungan PRT.
Namun proses menuju UU sangatlah panjang. Pertama kali diajukan sejak tahun 2004 dan selalu masuk Proleknas setiap periode masa bhakti DPR RI. Apabila dihitung dari tahun tersebut, maka kini telah memasuki usia yang ke-19 tahun.
Apabila tidak disahkan, maka masa bhakti 2019-2024 pun akan terlewatkan. Suatu perjalanan yang begitu panjang dan ditunggu dengan sabar oleh rakyat Indonesia.
Padahal, di dalam prolog urgensi dan pokok-pokok pikiran pengaturan penyusunan RUU PPRT milik DPR RI, disebutkan tiga hal penting yang melatarbelakangi pengajuan dan pembahasan RUU Perlindungan PRT ini.
Pertama, terkait dengan pemenuhan unsur upah, perintah dan pekerjaan. Karena memenuhi unsur-unsur demikian maka PRT merupakan pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan seperti yang diterima oleh pekerja lainnya.
Kedua, Pekerja yang berprofesi sebagai PRT mencapai 4,2 juta jiwa menurut survey ILO dan UI. Kondisi ini membutuhkan suatu UU Perlindungan bagi para PRT.
Ketiga, wilayah kerja PRT ada pada lingkungan yang bersifat domestik dan privat. Karenanya, pemerintah kesulitan untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap permasalahan yang terjadi. Padahal terjadi banyak praktik yang rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Melihat banyaknya kasus dan lamanya proses pembahasan agenda RUU PPRT ini, maka selayaknya masyarakat sipil turut serta memberikan dukungan dan desakan, agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dapat disahkan menjadi Undang-Undang. Mari bersatu dukung ketok Palu UU PPRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H