Dari kasus tersebut, sebanyak 1.635 kasus multi kekerasan yang berakibat fatal. Kekeran fisik dan psikis sebanyak 2.021 kasus. Dan kekerasan ekonomi mencapai 1.609 kasus.
Angka tersebut, adalah kasus yang tercatat karena dilaporkan. Masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Takut kehilangan pekerjaan, diancam oleh pelaku, atau diselesaikan secara kekeluargaan.
Pentingnya UU Perlindungan PRTÂ
Banyaknya kasus kekerasan fisik dan psikis serta pengabaian hak-hak pembantu rumah tangga membuat masyarakat sipil untuk mendorong DPR agar membahas RUU Perlindungan PRT.
Namun proses menuju UU sangatlah panjang. Pertama kali diajukan sejak tahun 2004 dan selalu masuk Proleknas setiap periode masa bhakti DPR RI. Apabila dihitung dari tahun tersebut, maka kini telah memasuki usia yang ke-19 tahun.
Apabila tidak disahkan, maka masa bhakti 2019-2024 pun akan terlewatkan. Suatu perjalanan yang begitu panjang dan ditunggu dengan sabar oleh rakyat Indonesia.
Padahal, di dalam prolog urgensi dan pokok-pokok pikiran pengaturan penyusunan RUU PPRT milik DPR RI, disebutkan tiga hal penting yang melatarbelakangi pengajuan dan pembahasan RUU Perlindungan PRT ini.
Pertama, terkait dengan pemenuhan unsur upah, perintah dan pekerjaan. Karena memenuhi unsur-unsur demikian maka PRT merupakan pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan seperti yang diterima oleh pekerja lainnya.
Kedua, Pekerja yang berprofesi sebagai PRT mencapai 4,2 juta jiwa menurut survey ILO dan UI. Kondisi ini membutuhkan suatu UU Perlindungan bagi para PRT.
Ketiga, wilayah kerja PRT ada pada lingkungan yang bersifat domestik dan privat. Karenanya, pemerintah kesulitan untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap permasalahan yang terjadi. Padahal terjadi banyak praktik yang rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.