Dengan adanya pungutan biaya kemacetan ini, maka diasumsikan banyak kendaraan pribadi tak akan melintasi jalan-jalan tersebut.
Mereka yang Diuntungkan
Lalu, siapakah yang bakal menikmati pungutan biaya kemacetan tersebut? Jika melihat pernyataan dari BPTJ, maka pungutan ini tidak akan masuk ke kas daerah seperti selama ini.Â
Tetapi penerimaan akan dimasukkan dalam kas negara dengan kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP.
Artinya, bakal ada penambahan kas negara bagi pemberlakuan program ini. Dan dana yang bersumber dari PNBP ini akan digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktu transportasi jalan. Juga dananya dialokasikan untuk transportasi publik.
Pada sisi lain, pemerintah merencanakan untuk memberikan subsidi bagi kendaraan listrik. Wah, bukankah subsidi pembelian kendaraan listrik (Battery Electric Vehicle/BEV) ini akan mendorong orang untuk membeli mobil jenis ini?
Menurut hemat saya, pemberlakuan ERP tak akan menurunkan keinginan orang  untuk bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Apalagi subsidi pemerintah untuk pembelian kendaraan BEV termasuk besar, dalam kisaran Rp 5 juta hingga Rp 80 juta.
Bisa jadi, kemacetan akan bertambah parah. Jalur yang tadi tidak macet atau kurang macet, malahan ikut-ikutan macet karena dilalui oleh mobil-mobil pribadi tersebut. Jangan-jangan, karena kemacetan ini, maka semua ruas jalan bakal diberlakukan ERP.
Mereka yang Buntung
Apabila ERT diberlakukan di semua ruas jalan, yang buntung bakal bertambah. Para pekerja bergaji kecil dan kantornya di area macet, akan berputar-putar dan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk BBM.Â
Lalu, para sopir taksi tentunya akan bermasalah. BBM yang semakin meningkat, plus biaya pungutan jalan. Sementara kenaikan tarif sedikit saja akan dipersoalkan oleh pelanggan.
Kurang Tepat Subsidi untuk Membeli Kendaraan BEV
Sejatinya, pembangunan yang dilakukan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tentu saja, setiap masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda-beda.