Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pentingnya Simulasi Berkala dan Kesigapan Warga Menghadapi Bencana

7 Desember 2022   05:10 Diperbarui: 7 Desember 2022   18:43 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika terjadi bencana alam, maka mayoritas penduduk akan mencari keselamatan secara refleks. Hal yang lumrah dari manusia, bergerak mengikuti insting. Juga secara refleks mengikuti arus pergerakan manusia lain, kemana hendak berlarian.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk berakal budi yang dapat dilatih untuk melakukan sesuatu. Apabila mendapatkan pelatihan secara rutin, maka orang-orang akan terbiasa mengikuti apa yang diperoleh dalam pelatihan dimaksud.

Manusia, telah berlatih semenjak masih bayi. Berlatih untuk menggunakan seluruh organ tubuh sesuai fungsinya. Belajar menggunakan tangan untuk makan, kaki untuk berjalan, atau mulut untuk makan dan berbicara.

Awal mulanya, bayi akan marasa canggung untuk melakukannya. Namun seiring bertambahnya usia dan akbat berlatih terus-menerus, mama ia pun semakin lincah untuk melakukannya. Yang tadinya dibantu, mampu menjalankannya secara mandiri. Bahkan, kemudian menolong dan mengarahkan orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Simulasi bencana letusan gunung api meletus (dok foto: antaranews.com)
Simulasi bencana letusan gunung api meletus (dok foto: antaranews.com)

Bencana Alam

Bencana alam sering kali datang secara tak terduga. Ramalan-ramalan melalui kajian ilmiah, atau rekaman yang dilakukan oleh lembaga yang kompeten sering kali juga meleset.

Gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi. Bencana alam seringkali menelan korban yang sangat banyak. Nyawa dan harta benda.

Anggota keluarga dipisah paksa oleh maut. Harta benda tak terselamatkan. Yang luput dari bahaya, mengalami depresi dan memerlukan waktu untuk kembali pulih dan melanjutkan kehidupan mereka.

Pentingnya Simulasi Menghadapi Bencana Alam

Simulasi bencana alam sangat penting untuk dilakukan secara berkala. Dalam website resminya, bnpb.go.id, kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan, bahwa di daerah-daerah rawan bencana harus dilakukan simulasi secara berkala.

Tujuan simulasi berkala dimaksud adalah sebagai suatu bentuk kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana yang berujung pada bencana. Urusan kesiapsiagaan bencana, merupakan komitmen bersama. Tak hanya menjadi urusan  BNPB dan BPBD, atau TNI/POLRI. Tetapi melibatkan seluruh elemen Pentaheliks yang melibatkan Pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat dan media massa.

Pentingnya pemasangan tanda jalur evakuasi secara jelas (dok foto: imunitas.or.id)
Pentingnya pemasangan tanda jalur evakuasi secara jelas (dok foto: imunitas.or.id)

Simulasi siaga bencana, sangat penting dilakukan di daerah-daerah yang berpotensi terkena dampak bencana. Di sekitar gunung berapi, kawasan yang rawan longsor dan rawan banjir. Juga daerah yang rawan gempa bumi dan kawasan pantai yang berpotensi dengan tsunami.

Pada daerah yang telah diidentifikasi sebagai kawasan yang rawan bencana, harusnya dilakukan simulasi secara berkala. Termasuk menyiapkan dan memastikan alarm berfungsi dengan baik, dan petunjuk arah evakuasi yang tidak rusak atau hilang.

Jangan Panas-panas Tahi Ayam Saja

Simulasi bencana ini penting agar warga menjadi terbiasa dalam menghadapi bencana. Namun seringkali, kita hanya panas-panas tahi ayam. Sesaat setelah bencana, badan yang menangani bencana, biasanya melakukan simulasi dengan rutin.

Namun frekuensinya menjadi berkurang seiring berlalunya waktu. Kemudian seratus persen tak dilakukan lagi. Padahal kita tahu, bahwa bencana alam itu datangnya tak terduga. Bisa datang kapan saja, tak kenal waktu.

Simulasi BNPB dan BPBD di Jawa Barat (dok foto: BNPB.go.id)
Simulasi BNPB dan BPBD di Jawa Barat (dok foto: BNPB.go.id)

Pengalaman saya setelah gempa tsunami di Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004. Waktu itu, tahun 2007, kami melakukan livelihood assesment di Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar.

Setiap minggu, alarm selalu dibunyikan dan semua warga harus menghentikan aktivitasnya, berjalan mengikuti petunjuk arah evakuasi menuju ke muster point terdekat.

Saat itu, warga sudah mulai terbiasa dengan bunyi alarm. Ketika mendengar sirene, semua bergerak mengikuti arah yang telah ditentukan. Arah ke mana harus menyelamatkan diri ketika datang tsunami dari arah laut. Termasuk pemberian pemahaman, setelah gempa tidak boleh bergerak menuju laut, tetapi menjauh.

Namun, simulasi rutin tersebut kini menghilang. Bulan Mei 2022 lalu, 4 hari di Aceh. Mampir ke salah satu kantin yang terletak di pantai Lhok Nga tempat di mana kami bekerja dulu. Namun tak ada tanda-tanda itu. Sudah tak ada lagi simulasi secara rutin agar membiasakan warga sigap saat terjadi bencana tsunami.

Padahal, BNPB sendiri telah menegaskan pentingnya simulasi berkala sebagai salah satu bentuk dari kesiapsiagaan terhadap bencana. Masyarakat yang terbiasa, akan mengikuti alur evakuasi ketika terjadi bencana.

Berkala, artinya dilakukan secara berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Bukan dilakukan satu atau dua kali saja lalu dianggap bahwa masyarakat sudah mengerti dan mampu mengikuti petunjuk evakuasi saat terjadi bencana di sekitar.

Apabila berlangsung dengan baik, maka kepanikan-kepanikan warga saat terjadi bencana dapat dikurangi. Korban akibat kepanikan massal juga dapat diminimalisir.

Pemasangan peringatan rawan tsunami membantu mengingatkan warga untuk berhati-hati (dok foto: bpbd.pangandarankab.go.id)
Pemasangan peringatan rawan tsunami membantu mengingatkan warga untuk berhati-hati (dok foto: bpbd.pangandarankab.go.id)

Semoga simulasi bencana bukan hanya sekedar kegiatan insidensial, tetapi dilakukan secara berkala. Tak hanya panas-panas tahi ayam. Dilakukan satu atau dua kali pasca bencana lalu selesai dan masyarakat dianggap telah mengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun