Pagi-pagi sudah dibuat ngakak. Gegara ngintip notifikasi di Kompasiana. Eh, ada balasan dari pemilik akun sah bernama Felix Tani. Lebih populer dengan nama Engkong FT meskipun tak pernah menjadi cover majalah Popular. Kadang-kadang menyamar jadi Poltak pula. Tapi aku lebih suka sapa dengan satu kata, "Abang".
Nggak berani bilang Tulang, apalagi Lae. Beta bisa kena falungku. Kena denda pula awak. Macam ngeri-ngeri sedap. Apalagi pernah gagal pedekate sama borbat dari Medan sana. Konon sudah ada paribannya yang tak bisa diganggu gugat walau janur kuning belum melengkung di depan rumah.
Pernah pula dikenalinnya aku sama paribannya gegara aku masih ngotot. Ketemunya di BPK pula. Jadinya, BPK yang enak itu seperti nggak ada rasanya hari itu. Hambar, sehambar hati ini. Cie..cie...uhuk..uhuk...
Ups, maaf. Lupa sama perkara pokok. Kembali ke cerita Engkong FT ya. Lebih seru dan anyar. Masa lalu biarlah jadi masa lalunya Inul Daratista saja. Ora sudi aku ngebayangin terus. Takut, kuring teu bisa sare...
Seperti biasa, Engkong FT selalu membuat pembaca untuk mampir dan mengintip lagi, apa yang engkong tulis di Kompasiana. Kali ini, artikel yang disematkan pada kolom Humor berjudul 'Tema Kompasianival 2022 Menyinggung Perasaan Lansia'Â plus isinya menyinggung-nyinggung TPU pula...
Nah, aku (yang masih polos ini) kan nggak ngerti lalu bertanya, TPU ntu apaan Kong, sejenis makanan kah? Lalu dijawab dengan enteng, TaPe Uli.
Ah, gegara TaPe Uli, jadinya kembali nginget masa lalu. Kali ini nggak apa-apa ya, masa lalu diingat kembali. Asal jangan ingat mantan aja.
Tahun 1993. Untuk pertama kalinya diriku keluar dari sarang, pergi ke tanah Jawa yang konon lebih maju. Dan memang iya sih, tak bisa disangkal.
Bogor itu tujuanku. Naik pesawat turun di Bali. Nyebrang ke Ketapang (Banyuwangi) via Gilimanuk (Bali). Nge-bis ke Bungurasih Surabaya. Sambung kereta ke Jakarta dan lanjut naik bus. Nyampe di Bogor dalam kondisi semaput. Mungkin perjalanannya mirip-mirip Bang Poltak dari Medan ke Yogya.
Enaknya, di Bogor banyak senior dan seniorita. Pada baik dan siap menolong. Tak peduli asal mana. Suku apa, agama apa, rambut lurus apa keriting. Siap membantu pokoknya.
Biasanya, kakak-kakak senior setiap provinsi akan nongkrong di depan kampus saat hari pertama penerimaan mahasiswa baru. Cukuplah mereka membentang spanduk nama provinsi, atau kabupaten-kota untuk yang di Jawa, maka para calon mahasiswa baru akan berdatangan ke situ.
Dari situ, saya diberi catatan apa yang bisa saya lakukan jika memerlukan pertolongan. Termasuk memberikan satu alamat, semacam sekretariat mahasiswa di Jalan Riau bernama Marga Putra, dekat terminal Baranang siang. Ternyata dekat pula sama lokasi BPK Baranangsiang.
Datanglah aku ke situ. Pertama kali, bertemu seseorang bernama Ivan asal Malang. Semester 3, lokasi kuliahnya di sekitar Taman Kencana. Kalau ke kampus, naik bemo yang rodanya tiga. Cukup bayar 200 perak.
Tak lama kemudian, bergabunglah Abang Ivo bermarga Purba. Beliau paling senior di situ, status tinggal menunggu pasang toga di kepala. Banyak pula cerita abang ini, tetapi bahasanya aku kurang mengerti. Makhlumlah, logat bahasa Indonesia kami lumayan berbeda. Jadi kudu belajar banyak dan cepat agar bisa beradaptasi.
Diajaknya aku ke Marga Putri yang berada bersebelahan dengan Marga Putra. Sudah pasti, seratus persen penghuninya putri-putri cantik. Ada yang dari Surabaya, Kediri. Tetapi paling banyak dari Flores, NTT.
Bertemulah kami dengan seorang seniorita bernama Mbak Tina asal Surabaya. Cantik, ramah, dan suka senyum.
Tak lama kemudian, Mbak Tinanya masuk ke dapur lalu keluar lagi membawa dua gelas teh, dan sepiring ubi. Ayo Goris, diminum ya. Gak perlu malu-malu. Kata mbak Tina sambil meletakkan minuman di atas meja.
Kutengok ubinya, kok beda ya. Seperti sudah tidak bisa dimakan. Lalu sejak ubi itu muncul kok tercium pula bau seperti sopi. Ah, kok dikasih ubi busuk ya, bathinku.
Tak berani pula, aku menyentuh piring berisi tape itu. Sampai akhirnya disuruh sama Abang Ivo. Ayo, makan tapenya. Di Timor kan banyak ubi seperti ini.
Sambil takut-takut, akhirnya kuberanikan diri berkata. Ya kami pung ubi ada banyak, tetapi kami tidak biasa makan ubi busuk bang. Sontak, Abang Ivo dan Mbak Tina tertawa kuat-kuat, menertawai kebodohan saya yang mengira tape itu ubi busuk.
Kuberanikan diri mengambil sepotong, mencicipinya. Wah, enak ya. Lembut pula. Dan ludeslah tape singkong itu. Pulangnya, diberi lagi beberapa potong sama Mbak Tina.
Ah, dasar...tape kusangka ubi busuk.
Daftar Pustaka: Gegara Tulisan Engkong FT berjudul "Tema Kompasianival 2022 Menyinggung Perasaan Lansia".
NB: Saya cicip tape uli yang dari ketan hitam itu belakangan. Lebih suka tape singkong. Ijin ya Bang Felix. Mauliate Godang Engkong FT, sudah membangkitkan memori Singkong Busuk gegara TaPe Uli. Salam hormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H