Kenaikan cukai menahan hasrat para perokok untuk mengurangi alokasi uang untuk membeli rokok? Teman saya yang perokok berat bilang, never. Tetap saja akan membeli rokok kesukaan saya, sekalipun harganya dinaikkan.
Senada dengan teman saya yang perokok berat tersebut, teman yang lain pun menimpali bahwa ia tidak  akan berhenti merokok karena kenaikan harga rokok.
 Mengurangi pembelian mungkin saja, sebab jatah keuangan tidak naik untuk pos rokok. Tetapi bisa nebeng merokok pada teman.
Hasrat Para Perokok
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar rata-rata 10 persen di tahun 2023 dan 2024 ditanggapi sepi-sepi saja oleh para perokok. Mereka tetap saja akan membeli rokok sebab susah untuk menghentikan aktifitas tersebut.
Berpindah ke rokok elektrik alias vape? Tentunya juga memberatkan. Sebab rokok elektrik pun akan dinaikkan sebesar 15 persen selama 5 tahun berturut-turut. Berarti setiap tahun, harga rokok elektrik ini akan naik 15 persen hingga tahun 2027.
Di kalangan muda, para penikmat rokok elektrik mungkin akan semakin banyak berkelompok, sebab tidak mampu memberi sendiri-sendiri. Mereka bisa join satu sama lain, mencoba beberapa rasa sambil kongkow bareng dan bersenda gurau.
Sebenarnya, faktor kenaikan harga  rokok tidaklah terlalu dirisaukan oleh para perokok. Boleh jadi mereka akan tetap menjalankan kegiatan merokoknya dengan beralih pada jenis rokok yang sesuai dengan kantong mereka.
Bahkan, mereka bisa mengisap tembakau joker yang dibungkus dengan kertas rokok. Di daerah-daerah, para perokok dapat membeli rajangan tembakau dan membungkusnya dengan kertas rokok, klobot jagung, atau pembungkus lainnya.
Ada hal yang membuat para perokok berhenti merokok seratus persen. Yang pertama, karena kesehatan. Ayah saya, mulanya perokok berat. Namun berhenti total sejak divonis mengidap penyakit TBC dan mengikuti paket pengobatan TBC. Kakak sulung dan salah satu teman sekantor juga berhenti merokok karena kesehatan.
Sedangkan kakak saya yang nomor dua, juga berhenti merokok. Bukan karena sakit tetapi karena pengaruh pesan akibat dari merokok, disertai dengan gambar kanker pada bungkus rokok.
Dari dua kasus tersebut, ternyata keputusan berhenti merokok itu karena kemauan dan komitmen sendiri. Jika yang bersangkutan benar-benar berkomitmen, maka jangankan membelinya, diberi gratis pun akan menolak, tidak mau merokok.Â
PHK dalam Bayang-bayang Kenaikan Cukai
Data dari Kementerian Perindustrian RI yang dirilis pada 25 Maret 2019 menunjukkan, serapan tenaga kerja sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang.
Kontan.co.id memberitakan, per 2020 lalu sektor tembakau menjadi sektor terbesar ke-5 di Indonesia dalam urusan penyerapan tenaga kerja. Juga mencapai porsi terbesar dalam penerimaan cukai, yaitu 66,63 triliun rupiah.Â
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di tahun 2020 lalu, sektor tembakau mengalami peningkatan penerimaan cukai sebesar 18,84 persen.
Namun peningkatan serapan cukai ini, semakin memperberat perusahaan di bidang tembakau untuk mempertahankan produksinya. Biaya yang tinggi, menyebabkan perusahaan gulung tikar. Jika maih mau beroperasi, harus dapat mengurangi biaya. Diantaranya, melakukan pengurangan tenaga kerja alias PHK.
Hasil riset dari Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan, penyederhanaan struktur tarif cukai, berdampak negatif bagi industri dan tenaga kerja. Akibatnya, pengurangan volume produksi dan pengurangan tenaga kerja.
Cukup dilematis. Sebab kenaikan cukai yang semakin tinggi, dapat menghentikan operasional industri tembakau. Tentu saja, disertai dengan PHK tenaga kerja.
Dalam waktu yang relatif singkat, akan terjadi pula kenaikan tingkat pengangguran akibat PHK. Sementara, setiap tahun selalu ada penambahan angkatan kerja yang melakukan pencarian kerja.
Karenanya, menaikkan tarif cukai jangan hanya mengejar pendapatan negara dengan alasan agar membuat para perokok berhenti. Atau mengurangi kebiasaan merokok dengan alasan demi kesehatan.
Pemerintah juga harus mempunyai rencana, bagaimana mengalihkan tenaga kerja yang di-PHK oleh industri rokok yang tak mampu menjalankan operasionalnya lagi. Sebab, ketika perusahaan berhenti beroperasi maka saat itu juga para pekerja pabrik rokok kehilangan mata pencahariannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H