Sedangkan kakak saya yang nomor dua, juga berhenti merokok. Bukan karena sakit tetapi karena pengaruh pesan akibat dari merokok, disertai dengan gambar kanker pada bungkus rokok.
Dari dua kasus tersebut, ternyata keputusan berhenti merokok itu karena kemauan dan komitmen sendiri. Jika yang bersangkutan benar-benar berkomitmen, maka jangankan membelinya, diberi gratis pun akan menolak, tidak mau merokok.Â
PHK dalam Bayang-bayang Kenaikan Cukai
Data dari Kementerian Perindustrian RI yang dirilis pada 25 Maret 2019 menunjukkan, serapan tenaga kerja sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang.
Kontan.co.id memberitakan, per 2020 lalu sektor tembakau menjadi sektor terbesar ke-5 di Indonesia dalam urusan penyerapan tenaga kerja. Juga mencapai porsi terbesar dalam penerimaan cukai, yaitu 66,63 triliun rupiah.Â
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di tahun 2020 lalu, sektor tembakau mengalami peningkatan penerimaan cukai sebesar 18,84 persen.
Namun peningkatan serapan cukai ini, semakin memperberat perusahaan di bidang tembakau untuk mempertahankan produksinya. Biaya yang tinggi, menyebabkan perusahaan gulung tikar. Jika maih mau beroperasi, harus dapat mengurangi biaya. Diantaranya, melakukan pengurangan tenaga kerja alias PHK.
Hasil riset dari Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan, penyederhanaan struktur tarif cukai, berdampak negatif bagi industri dan tenaga kerja. Akibatnya, pengurangan volume produksi dan pengurangan tenaga kerja.
Cukup dilematis. Sebab kenaikan cukai yang semakin tinggi, dapat menghentikan operasional industri tembakau. Tentu saja, disertai dengan PHK tenaga kerja.
Dalam waktu yang relatif singkat, akan terjadi pula kenaikan tingkat pengangguran akibat PHK. Sementara, setiap tahun selalu ada penambahan angkatan kerja yang melakukan pencarian kerja.