Tanam, tanam, Â sekali lagi tanam
Demikian program, atau tepatnya dibilang perintah dari Bapak Mayjen TNI (Anumerta) Elias Tari yang lebih populer dengan nama Eltari di era kepemimpinannya. Beliau adalah Gubernur NTT ke-2 yang menggantikan W.J. Lalamentik. Menjabat dari 12 Juli 1966-29 April 1978.
Lalu, apa hubungan Eltari dengan topik artikel ini, "Inspirasi Eltari Menghadirkan Hutan Mini di Rumah?"Â
Pertama, NTT terkenal dengan kegersangannya. Paling hanya beberapa area saja yang memang memiliki hutan yang cukup banyak. Katakanlah areal Pulau Flores bagian barat atau sekitar Mutis-Timau di Timor Barat. Karena gersang itulah, sang Gubernur memerintahkan masyarakat untuk menjalankan program dengan motto, "Tanam, tanam, sekali lagi tanam".
Kedua, masa kepemimpinannya merupakan penerapan desa gaya baru. Peralihan dari pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil tradisional. Perkampungan-perkampungan disatukan menjadi desa yang utuh. Pemukiman masyarakat ditata ulang. Rakyat dipindahkan atau translok ke lokasi yang telah disediakan oleh pemerintah. Bermukim di tempat yang telah dibangun jalannya. Tentu saja, setiap keluarga juga mendapatkan pekarangan yang lumayan luas.
Ketika rakyat pindah ke pemukiman baru, belum ada tanaman yang mereka miliki, kecuali beberapa pohon asli yang sudah tumbuh di situ. Gubernur Eltari pun menginstruksikan kepada pemerintahan di bawahnya hingga ke level desa untuk merealisasikan program tanam bersama dengan rakyat.
Jadilah, masyarakat menanam apa saja yang bermanfaat. Entah tanaman pangan, perkebunan, atau kehutanan yang berfungsi menghijaukan lahan-lahan tandus dan sebagai penahan longsoran tanah di lereng-lereng bukit.
Tentu saja, disesuaikan dengan program tanaman wajib pilihan. Dari aspek pangan, dapat menyediakan pangan kepada rakyat agar tidak kelaparan. Dari aspek niaga, ada tanaman umur panjang seperti mete, kemiri dan kelapa yang hasilnya dapat dijual. Dari ketersediaan pakan ternak, dapat menyediakan pakan sepanjang tahun. Dan dari aspek konservasi tanah, dapat berperan sebagai penyedia air tanah, penghijauan plus penahan longsor.
Dari motto tanam, tanam, sekali lagi tanam ini kemudian pekarangan masyarakat mulai dipenuhi dengan aneka tanaman. Jagung, kacang-kacangan, singkong, ketela rambat. Jeruk, mangga, pisang, pepaya, kelapa, mete, kemiri.
Dalam beberapa tahun, tanaman umur panjang mulai tinggi. Tanaman pangan terdesak karena masyarakat belum berpikir untuk memisahkan lahan untuk tanaman umur panjang dengan tanaman pangan. Harus diatur, areal tanah mana yang diperuntukkan bagi tanaman pangan dan mana yang dikhususkan bagi tanaman umur panjang.
Pekarangan-pekarangan penduduk yang tadinya gersang, berubah menjadi hutan mini. Terlihat hijau sepanjang musim. Burung-burung mendekat, bersarang dan mencari makanan di sekitar. Suasana menjadi lebih hidup.Â
Menanamkan Spirit Menanam Apa Saja
Para orang tua dan guru-guru di desa hingga tahun 1990-an, masih menerapkan prinsip tanam, tanam, sekali lagi tanam, dikombinasi dengan program gubernur setelah itu, seperti Operasi Nusa Hijau-nya Gubernur Ben Mboy dan Hendrik Fernandez lewat program Gempar (Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat).
Mungkin secara bisnis, tak masuk kalkulasi. Mana untungnya? Tetapi secara ekologis, terasa sekali manfaatnya. Juga prinsip ketahanan pangan keluarga ada di situ. Ada saja hasil yang bisa dipanen.
Lalu kami, anak-anak pun mengikuti prinsip itu karena diajarkan sejak kecil. Tak heran, jika setiap saat kami suka menanam, terutama pada lahan-lahan yang terlihat gersang dan masih bisa ditanami. Seringkali, kebablas dan tak memperhatikan jarak tanam atau teknik budidaya pertanian yang betul.
Anak-anak sekolah di zaman old, sering melakukan penghijauan di bukit-bukit  gundul. Membuat terasering model bingkai A, lalu mengerjakan sengkedan di punggung bukit agar menahan laju erosi tanah di musim hujan, itu sudah biasa. Membuat larikan untuk menaburkan benih lamtoro dan turi di musim hujan, menjadi kegiatan rutin mingguan kami.
Semboyan ini sepertinya telah tertanam di hati. Dan terlihat, saya kurang terkontrol untuk menanam dan menanam di rumah. Entah di lahan, maupun di pot. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Apalagi jenis pekarangan yang cuma beberapa meter persegi itu cadas. Harus digali agak dalam dan lebar, baru diisi tanah dengan campuran kompos.
Syukurlah, aneka bunga bisa dinikmati setiap hari. Burung-burung bernyanyi di pagi hari dari atas pohon tanpa takut diburu. Sementara beberapa pohon pisang, belimbing, jambu, sri kaya dan pepaya silih berganti memberikan ucapan terima kasih mereka dengan menyediakan buah matangnya.Â
Tanam, tanam, sekali lagi tanam, ternyata bisa dinikmati hasilnya. Sehat, indah, rindang, dan menyenangkan. Pekarangan terlihat seperti hutan. Kicauan burung, adalah alarm alam di pagi hari. Ah, alam nan gersang ternyata bisa berubah menjadi hutan mini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H