Setiap orang pasti memiliki pengalaman bertetangga yang berbeda-beda. Ada yang sudah saling menganggap seperti keluarga. Â Sementara yang lain saling cuek dan tidak akur. Hal sepele saja, sering memicu pertengkaran. Kelanjutannya boro-boro saling menyapa, tersenyum saja ogah.
Kami baru pindah dan menetap di Kota Kupang beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, tinggal di salah satu ibukota kabupaten yang ada di NTT. Namun cara hidup bertetangga tetaplah mengikuti model sebelumnya, termasuk meniru model bertetangga zaman orang tua dahulu.
Sebagai orang baru, kami tentunya harus memperkenalkan diri dengan tetangga terutama yang paling berdekatan rumahnya. Syukurlah, hingga kini kami dan tetangga saling akrab. Memang, harus kami akui bahwa hubungan dengan tetangga sebelah kiri, kanan, depan dan belakang tak sama kualitasnya.
Dengan tetangga, kami paling akrab dengan tetanggap sayap kanan rumah kami. Sering kali kami saling berbagi makanan. Kami sering kali mendapatkan ikan laut segar dan gula aren. Bahkan kami boleh mengambil buah jambu dan mangga sesuka kami. Sementara setiap kali bepergian, tak lupa saya membawa oleh-oleh berupa kopi atau jenis makanan lain yang layak dijadikan sebagai buah tangan.
Apalagi saya dan isteri menjadi orang tua serani bagi salah satu anak tetangga kami. Jadinya harus turut bertanggung jawab untuk ikut membimbing anak tetangga. Tentu saja, sebatas apa yang bisa kita lakukan terkait dengan tugas sebagai orang tua serani. Tanggung jawab sepenuhnya tetaplah ada pada orang tua kandungnya.
Dengan tetangga yang lain, jaraknya agak jauh. Sehingga kami hanya berkunjung di hari besar agama, terutama hari Natal dan Tahun Baru. Juga berkunjung ke tetangga lainnya di saat Lebaran. Kami saling menghormati latar belakang suku dan agama kami.
Pesan Orang tua untuk Bersahabat dengan Tetangga
Orangtua kami, tinggal di kampung. Pergaulan di kampung, lebih akrab. Bahkan satu kampung pun saling kenal dan akrab seperti keluarga. Saling membantu di saat susah, juga ikut bergembira di saat tetangga mempunyai hajatan.
Orang tua selalu berpesan agar kami sebagai anak-anak, harus hidup rukun dan damai dengan tetangga. Sebab menurut mereka, tetanggalah yang pertama kali membantu ketika kita memerlukan pertolongan. Entah bantuan di saat gembira maupun di kala mengalami musibah.
Pengalaman di tempat terdahulu, saat kakak ipar meninggal dunia maka yang hadir pertama kali untuk membantu menyiapkan rumah, dan penjemputan jenazah di rumah sakit adalah tetangga. Ketika kakak dan adik kandung tiba, semua sudah beres oleh tetangga.
Karena itu, di Kupang pun kami selalu berusaha untuk hidup rukun dengan tetangga. Saling menghormati dan menjaga keharmonisan. Tak perlu saling iri sebab setiap keluarga, punya berkatnya sendiri-sendiri.
Ketersinggungan kecil-kecilan pasti ada. Misalnya ketika kita butuh istirahat, ternyata tetangga kedatangan tamu. Mereka lumayan ribut dan menyetel musik dengan volume yang cukup tinggi dan lumayan mengganggu. Namun sebelum kita berbicara, tetangga sudah terlebih dahulu meminta maaf atas bunyi musik dan gangguan lainnya. Jadi aman-aman saja.
Dengan tetangga tak perlu bergosip terhadap kehidupan tetangga lainnya. Siapa tahu, informasi pergunjingan itu akan sampai pada tetangga yang digosipkan, lalu muncul keributan. Lebih baik, membicarakan hal bermanfaat. Terkait pekerjaan, usaha, pengetahuan, dsb.
Beruntunglah, di lingkungan RT kami belum pernah ada keributan antartetangga. Walaupun kualitas relasi dengan tetangga itu berbeda-beda, tak ada untungnya merapat ke salah satu tetangga untuk membicarakan kekurangan tetangga yang lain.
Ketika kita bergosip tentang kekurangan orang lain, termasuk tetangga maka jangan tersinggung dan siap-siap sajalah, jika diri kita pun akan dipergunjingkan oleh tetangga  yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H