Tradisi Adat yang berlangsung secara turun-temurun, biasanya mengandung makna tertentu. Salah satunya, Helaketa yang merupakan suatu rangkaian prosesi adat pernikahan yang dilakukan masyarakat Banfanu di Kecamatan Noemuti, Â Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.
Adalah Kristina Geovarani Thein, seorang mahasiswi PS Bimbingan dan Konseling pada FKIP Undana Kupang, tertarik untuk mengkaji tradisi Helaketa dalam Skripsinya, sebagai tugas akhir perkuliahan di Undana, Kupang.
Adapun judul penelitian ini adalah "Tradisi Adat Helaketa pada Masyarakat Desa Banfanu Kecamatan Noemuti Kabupaten TTU Dilihat dari sudut Pandang Bimbingan dan Konseling". Oleh Kristina Geovarani Thein, dengan pembimbing Dr. Imanuel Lohmay, M.Pd dan Khetye Romelya Saba, S.Psi, M.A.
Ada tiga tujuan yang ingin diketahui dalam tradisi Adat Helaketa ini, yaitu: (1) Mendapatkan gambaran tradisi Helaketa (2) Makna dari tradisi Helaketa itu sendiri; dan (3) Tradisi Helaketa dilihat dari sudut pandang Bimbingan dan Konseling.
Makna Dibalik Helaketa
Helaketa atau tarik lidi telah lama dilakukan oleh masyarakat Banfanu dan sudah terpelihara secara turun-temurun. Dilakukan pada awal pernikahan sebagai itikad baik, tasoin eno. Istilah tasoin eno diartikan sebagai membuka jalan bagi kedua pihak yang akan melangsungkan pernikahan, termasuk keluarga besar dan rumpun keluarga terkait dari kedua belah pihak.
Helaketa, dimaksudkan untuk memulihkan kembali kerenggangan hubungan antarsuku di masa terdahulu dimana selalu muncul pertikaian hingga perang. Dan rata-rata, mereka saling bersumpah tidak akan kawin-mawin atau memiliki hubungan keluarga.
Karena termakan sumpah, maka keturunan keluarga yang bertikai tidak akan melakukan perkawinan. Takut kena tulah. Namun ada satu kesempatan untuk memperbaiki hubungan tersebut, yaitu melalui upacara adat Helaketa. Memulihkan kembali hubungan keluarga.
Dalam rangkaian perkawinan, Helaketa merupakan tasoin eno khusus dalam pernikahan. Namun fenomena Helaketa kini mengalami perluasan, tak hanya pada upacara pernikahan. Acaranya pun sudah melibatkan banyak orang. Tidak seperti tradisi aslinya, yang hanya melibatkan kedua calon pengantin dan perwakilan keluarga yang mengambil tempat di suatu sungai terdekat.
Biasanya upacara adat Helaketa dilakukan di sungai. Setelah proses penarikan lidi selesai, maka tibalah saatnya untuk membunuh ternak, darahnya dialirkan melalui sungai. Persiapan ala kadarnya. Daging dibakar lalu dihidangkan bersama nasi yang dibawa dari rumah kepada seluruh orang yang hadir dalam upacara itu.Â
Perluasan kegiatan dan makna Helaketa ini, kemudian memunculkan Surat Edaran no 14 tahun 2022 dari pemimpin umat Katolik Keuskupan Atambua. Dalam SE tersebut, Bapak Uskup melarang pelaksanaan Helaketa dengan alasan berikut:
- Bertentangan dengan iman katolik, praktik superstisi dan mistis magis.
- Tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural.
- Memecah belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia
- Menambah berat beban ekonomi keluarga dan masyarakat.
Surat edaran tersebut kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat adat yang teguh memegang prinsip adat, namun taat pada ajaran Gereja. Para tetua dan masyarakat adat masih berpendapat, jika Helaketa tidak dilakukan maka pernikahan tidak akan harmonis dan tidak memiliki keturunan. Juga suasana rumah tangga akan terasa panas. Dalam istilah bahasa lokal setempat dinamakan maputu.
Hubungan Helaketa Terkait Bimbingan dan Konseling
Bagaimana tradisi Helaketa dikaitkan dengan Bimbingan dan Konseling? Geovarani memaparkan, dalam tradisi Helaketa terdapat bentuk bimbingan dan konseling terhadap keluarga baru untuk mencegah timbulnya konflik atau permasalahan yang muncul di kemudian hari.
Helaketa memiliki tujuan positif. Menjauhkan pemuda dan pemudi yang akan melangsungkan pernikahan dan keluarga yang bersangkutan dari bahaya. Juga terhindar dari penyakit dan kecelakaan yang diakibatkan karena dihantui oleh peristiwa masa lalu yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Bimbingan dan Konseling (BK) Keluarga dari aspek ilmu pengetahuan pun demikian. Bimbingan dan Konseling keluarga memiliki fungsi preventif. Tujuannya, mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya. Dengan demikian, akan tercipta suasana keluarga yang harmonis.
Jalan Tengah Polemik Helaketa Ala Geovarani
Terkait polemik antara melestarikan tradisi adat Helaketa dan larangan Bapak Uskup selaku pemimpin Gereja Katolik setempat, Geovarani memilih untuk mengambil jalan tengah. Artinya Helaketa tetap dilaksanakan, dengan memperhatikan Surat Edaran Bapak Uskup.
Helaketa cukup dilakukan oleh dua pasangan dan keluarganya yang memiliki sejarah pertikaian di masa lampau. Yang tidak ada masalah, sebaiknya tidak usah. Toh bimbingan dan konseling bisa dilakukan dengan cara lain seperti saat penyampaian petuah-petuah dari orang tua di malam adat.
Agar tidak menambah berat beban ekonomi keluarga dan masyarakat seperti SE Bapak Uskup pada poin (d) maka sebaiknya hanya kedua pasangan dan orang-orang inti saja yang mengikuti acara Helaketa. Keluarga besar, handai tolan, sahabat dan kenalan sebaiknya tidak perlu mengikuti upacaranya.
Helaketa sebagai tadisi keluarga bernilai positif bagi keluarga baru yang akan berumah tangga. Ritual adatnya memiliki dasar yang telah ditanamkan dan diwariskan oleh leluhur. Sebagai bekal bagi dua insan menuju kenyamanan dan ketenangan dalam membina rumah tangga baru.
Namun, perlu memperhatikan hal-hal yang bisa memecah belah persatuan keluarga dan juga tidak menambah beban ekonomi keluarga dengan melakukan ritual yang menggunakan biaya seminim mungkin.
Tradisi adat yang bernilai positif seperti Helaketa ini tetap dijalankan. Di lain pihak, masyarakat tetap taat pada ajaran Gereja dan hidup berorientasi untuk membangun kesejahteraan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H