Petani-petani kita, masih mengerjakan lahan pertanian dengan teknik tradisional. Di samping itu, teknik bertani pun masih lebih banyak mengandalkan pengalaman turun-temurun. Dilihat-lihat, sebagian kurang tepat mengaplikasikan teknik pertanian.
Petani sawah misanya, selalu menaikkan jumlah pupuk setiap tahun untuk luas lahan yang sama. Atau menambah dosis pestisida dalam memberantas hama tanaman.Â
Di lain pihak, kehadiran penyuluh pertanian tidak begitu membantu. Mereka lebih cenderung mengumpulkan data sebagai laporan ke atas.
Faktor keempat, pertanian dianggap sebelah mataÂ
Sebagian kalangan menganggap, pertanian berhubungan dengan sesuatu yang kotor. Pertanian juga dianggap sebagai pekerjaan yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Stigma ini lalu menimbulkan keengganan bagi generasi muda untuk menekuni sektor pertanian sebagai pekerjaan utamanya. Pertanian, hanya dianggap sebagai pekerjaan sementara sambil mencari pekerjaan baru yang menurut mereka lebih menjanjikan.
Sekali lagi, Quo Vadis Pertanian Indonesia? Â Meninggalkan sektor ini dan beralih ke industri non pertanian, ataukah memberi perhatian yang lebih serius lagi bagi sektor pertanian agar memberi kontribusi yang lebih berarti lagi bagi negara Indonesia?
Yang pasti, dibutuhkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah. Tak sekedar wacana, tetapi berkomitmen untuk menjalankannya.Â
Tentu saja, dengan bekerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk pemilik modal, swasta dan segenap masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang menekuni sektor pertanian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI