Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sulitnya Menyadarkan Orang Membakar di Musim Kemarau

24 September 2022   08:17 Diperbarui: 24 September 2022   12:11 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rusa Timor, telah dilindungi namun masih sering diburu oleh warga karena dagingnya yang sangat empuk. Dok rri.co.id

Musim kemarau tiba. Padang rumput yang tadinya hijau, berubah menjadi kuning. Ilalang dan semak kering-kerontang, tak mampu menahan teriknya mentari. Sementara hujan tak kunjung turun membasahi bumi, sekalipun hanya beberapa detik.

Kawanan sapi dan kuda, berjalan bermil jauhnya mengikuti sumber air yang masih bertahan. Mereka berharap bisa mendapatkan pakan di sekitar, selain minum dari mata air yang ada. Sebagian dari mereka, nampak kurus dan terlihat dengan jelas, tulang-belulang mereka yang terbalut kulit.

Kondisi seperti itu, selalu terlihat di sebagian daratan di Pulau Timor, NTT pada musim kemarau. Parahnya lagi, masih sering terjadi kebakaran. Padang rumput terbakar, tumbuhan terpanggang panas api, dan ternak melarikan diri mencari tempat yang aman dari ancaman api. Dan manusia tak tenang, terbayang-bayang akan kerugian akibat kebakaran.

Tebas bakar di NTT, budaya yang masih sulit dihentikan dalam membuka lahan baru. Dok Cendananews.com/Ebed de Rosary
Tebas bakar di NTT, budaya yang masih sulit dihentikan dalam membuka lahan baru. Dok Cendananews.com/Ebed de Rosary

Kejadian ini, sudah berlangsung lama. Sejak saya masih kecil hingga kini, setiap tahun selalu ada kebakaran. Akibat perbuatan manusia, tentunya. Sebab hewan dan tumbuhan tidak dapat membakar semak belukar.

Dan semoga ungkapan-ungkapan saya melalui artikel sederhana tak dianggap sebagai sesuatu yang hiperbolik, mengada-ada. Banyak fakta sebab-musabab kebakaran, baik yang bersifat lokal maupun kebakaran hutan-hutan besar di dunia, diakibatkan oleh keteledoran manusia.

Data luas kebakaran hutan seperti yang dirilis oleh Kementerian LHK dalam BBC, tahun 2016-2021 menunjukkan, kebakaran hutan terparah terjadi pada tahun 2019 yang mana mencapai 1.649.258 Ha. Menurun signifikan padadua tahu berikutnya. Kita berharap, angka kebakaran kembali menurun di tahun 2022 ini. 

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan via BBC
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan via BBC

Konsentrasi Pemerintah Indonesia, memang lebih banyak pada provinsi-provinsi atau daerah-daerah dengan lahan gambut luas, seperti hampir seluruh Kalimantan dan Provinsi Riau. Sebab ketika lahan gambut terbakar, maka sulit sekali diatasi. Asapnya bisa mengganggu penerbangan, kesehatan, bahkan bermigrasi hingga membuat negara tetangga sewot.

Namun daerah lain, yang cakupan kebakarannya bersifat lokal pun sebenarnya memiliki kebakaran hutan dan padang rumput yang sifatnya tahunan. NTT, salah satu provinsi yang wilayahnya sering terbakar di musim kemarau.

Empat Kegiatan Berdampak Kebakaran Besar

Di daratan Timor, paling tidak terdapat empat kegiatan penggunaan api yang berpotensi menimbulkan kebakaran besar. Sebab api tidak dapat dikendalikan lagi, sementara panas matahari dan tumpukan dedaunan plus rumput kering, menjadikan api mudah menjalar kemana-mana.

Kebakaran di salah satu kelurahan di Kota Kupang akibat membakar sampah saat kerja bakti. Dok pribadi
Kebakaran di salah satu kelurahan di Kota Kupang akibat membakar sampah saat kerja bakti. Dok pribadi

Empat hal tersebut, adalah budaya tebas bakar, kebiasaan membakar padang, meninggalkan api yang dibuat saat berburu, dan membakar sampah. Jadi, tidaklah benar juga jika kebakaran selama ini, murni karena budaya pertanian tebas bakar.

Faktor pertama, budaya tebas bakar atau slash and burn masih dilakukan oleh sebagian besar petani tradisional di Timor. 

Petani akan menebas semak belukar, pepohonan dan apa saja yang ada di areal tertentu. Dibiarkan selama 2-3 bulan untuk mengering.

Saat hasil tebasan mengering itulah, mereka mulai membakar. Asap membubung tinggi, nyala api berkobar. Bahkan kayu dan daun yang dalam kondisi menyala pun ikut terbang, lalu jatuh di tempat lain. 

Kebakaran di daerah baru pun terjadilah. Apalagi ada angin yang membantu melancarkan proses merambatnya api tersebut. Dalam sekejap, api merambat dan melahap apa yang bisa dibakar.

Petugas gabungan memadamkan api Karhutla di Suka Maju, Rambah, Kab. Rokan Hulu Riau (Sabtu, 9/7/22). Dok Kompas.com/Koramil 02/Rambah
Petugas gabungan memadamkan api Karhutla di Suka Maju, Rambah, Kab. Rokan Hulu Riau (Sabtu, 9/7/22). Dok Kompas.com/Koramil 02/Rambah

Faktor kedua, budaya membakar padang rumput. 

Di musim panas, rerumputan mati semua. Namun itu hanyalah permukaan atasnya saja. Perakaran di bawah tanah tetaplah hidup. Karenanya, para pemilik ternak atau pemburu rusa sering membakar ilalang kering di padang rumput.

Tujuan membakar padang rumput ini adalah agar tumbuh tunas-tunas baru pada bekas ilalang yang terbakar sehingga ternak bisa memakannya.

Faktor ketiga, meninggalkan api setelah berburu. 

Kebiasaan lain, penduduk di kampung sering berburu hewan di malam hari. Diantaranya, ayam hutan, babi hutan, musang, tupai, dan aneka burung. 

Saat mendapatkan buruan, tak jarang mereka membuat perapian untuk membakar hasil buruan mereka lalu membawa pulang dagingnya ke rumah.

Rusa Timor, telah dilindungi namun masih sering diburu oleh warga karena dagingnya yang sangat empuk. Dok rri.co.id
Rusa Timor, telah dilindungi namun masih sering diburu oleh warga karena dagingnya yang sangat empuk. Dok rri.co.id

Api yang telah dibuat, ditinggal dalam keadaan menyala. Ketika ada angin, maka nyala api bisa menyambar ke sekeliling sehingga kebakaran pun terjadi. Dan tentu saja, tidak ada yang bertanggung jawab. Api dianggap sebagai sesuatu yang muncul begitu saja.

Faktor keempat, membakar sampah. 

Kebiasaan membakar sampah ini menyebar hingga ke warga yang bermukim di ibu kota kecamatan dan kabupaten. 

Dalam berbagai kesempatan kerja bakti, membakar sampah selalu menjadi bagian dari rutinitas itu. Entah untuk membakar sampah-sampah rumah tangga yang sering dibuang serampangan oleh warga, maupun sampah daun yang dikumpulkan saat kerja bakti.

Seringkali, api ditinggal begitu saja dan kemudian merambat pada benda lain yang ada di sekitar ketika angin bertiup. Ini lebih berbahaya, karena kota memiliki pemukiman yang padat dan banyak kabel listrik berseliweran di pinggir jalan.

Upaya Mengurangi Kebakaran 

Upaya pertama dan paling utama, tentunya harus datang dari kesadaran setiap orang. Membuat orang sadar, apalagi menyangkut seluruh warga memang sulit sekali. Ada yang langsung sadar, setengah sadar, dan tidak sadar-sadar. Kampanye, imbauan, dianggap angin lalu.

Satgas Preemptif Polres TTU saat melaksanakan kegiatan operasi Bina Karuna 2022, Jumat (5/8/22). Dok TNC dalam tribratanewsttu.com
Satgas Preemptif Polres TTU saat melaksanakan kegiatan operasi Bina Karuna 2022, Jumat (5/8/22). Dok TNC dalam tribratanewsttu.com

Usaha kedua, mendorong para tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pemantauan dan pemberian sanksi bagi anggota komunitasnya yang kedapatan membakar. Tujuannya, anggota kmunitas lain akan was-was dengan sanksi, apabila ia melakukan kegiatan pembakaran.

Upaya ketiga, kebijakan dan regulasi dari pemerintah. 

Pemberlakuan aturan oleh pemerintah, menjadi benteng terakhir dalam usaha menjaga kebakaran di sekitar. Regulasi ini, tentunya dimulai dari level desa sebagai pemerintah yang berada di tingkat paling bawah, hingga regulasi nasional.

Mari meminimalisir kegiatan membakar sampah di saat kerja bakti. Dok pribadi
Mari meminimalisir kegiatan membakar sampah di saat kerja bakti. Dok pribadi

Sanksi yang jelas, tanpa tebang pilih dapat membuat efek jera pada para pelaku pembakaran. Sementara, kegiatan kampanye dan cara penyadaran terhadap warga tetap dilakukan secara terus-menerus. 

Tidak terbatas pada orang dewasa saja, tetapi dilakukan juga pada anak-anak usia dini sehingga mereka sadar sejak awal untuk turut serta menjaga lingkungan dari kebakaran akibat kesengajaan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun