Saya salut dan bangga dengan sahabat-sahabat saya, para guru dan seluruh pendamping siswa berkebutuhan khusus, dimanapun berada. Terutama terhadap para pendidik di SLBN Baradatu, Way Kanan, Lampung.
Rasa bangga dan haru para pendidik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) akan keberhasilan anak didik mereka, Â sepertinya lebih besar jika dibandingkan dengan para pendidik anak yang belajar di sekolah-sekolah normal.
Pendapat ini, tentunya subyektif. Paling tidak, menurut pendapat saya. Tetapi bukan tanpa alasan. Saya cukup tahu bagaimana kepala sekolah, para guru, dan seluruh tenaga teknis SLBN Baradatu berjuang bersama dengan segala kemampuan terbaiknya dalam mendampingi anak-anak difabel itu.
Para pendamping ini, memang berjiwa penyayang, penyabar dan harus bijaksana. Di sisi lain, mereka  tetapi harus tegas dalam mengarahkan anak didik mereka. Misalnya, anak-anak didik ingin mengambil barang teman sekolah.
Saya dan dua sahabat, pernah dibuat kaget ketika pertama kali berkunjung ke sana. Salah satu anak didik, dengan santai masuk dan hendak mengambil air minum yang disuguhkan kepada saya. Saya sih tidak keberatan, karena saya maklum. Namun sang guru yang berada di situ, dengan lembut namun tegas menyatakan kepada anak tersebut untuk tidak mengambil air minum saya.
Setelah anak didik tersebut berhasil diatasi dan keluar dari ruangan, barulah sang guru meminta maaf dan memberi penjelasan berikut. Mereka sayang pada anak-anak, yang mana seringkali melakukan sesuatu di luar kontrol.
Tetapi harus tegas untuk menyatakan 'tidak' jika anak didik mereka berlaku tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para guru. Itu pun harus dilakukan berulang-ulang, sehingga anak didik dengan kategori  berkebutuhan khusus itu menjadi terbiasa dan lama-kelamaan bisa mengerti, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dan saya pun mengangguk, mengerti.
Ketrampilan Tata Boga SLBN Baradatu dan Kendala
Kemarin, Kamis (15 September 2022), saya mendapatkan kiriman foto disertai keterangan singkat, "Kegiatan tata boga hari ini membuat singkong tumis ketumbar".Â
Sebelumnya, bidang pertanian telah unjuk diri bertanam sayuran, singkong dan bunga. Juga kelompok  tata busana telah menghasilkan karya-karya menjahitnya.
Barangkali terlihat sepele untuk orang-orang normal. Namun tidak, untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Mereka harus dibiasakan terus-menerus. Mulai dari memegang alat seperti pisau yang tajam, menghidupkan api, atau mencuci peralatan.
Juga harus didampingi, bagaimana proses mengupas ubi, mengulik sambal, hingga menyajikannya. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa, tidak diperbaiki dengan kasar dan hukuman. Tetapi diajak untuk melakukan lagi dan lagi, sampai anak berhasil melakukannya sendiri.
Perihal bahan utama singkong, tidak dibeli tetapi diambil dari hasil praktik anak-anak bidang pertanian. Kerja sama ini, membuat mereka mengerti bahwa hidup mereka akan saling membutuhkan dan melengkapi.
Dan semua bahagia saat waktunya untuk mencicipi hasil karya anak-anak ini. Semua siswa, guru, para pendamping hingga Ibu Kepala Sekolah ikut menikmatinya.
Terakhir. Senang rasanya, melihat potret-potret ini sekalipun tidak ikut terlibat langsung untuk mendukung mereka. Anak-anak ini, baru sebatas membuat singkong rebus. Selain karena masih harus belajar, sekolah juga belum memiliki peralatan yang lengkap untuk mendukung tata boga, seperti peralatan masak-memasak dan kompos.
Ah, semoga saja ada dermawan yang ikut mengulurkan tangan dan membantu anak-anak ini demi memandirikan mereka di masa mendatang. Sekolah dan dinas pendidikan, tentu saja akan menyambut baik setiap uluran tangan para dermawan yang ingin membantu sekolah ini. Tentu saja, tanpa mengharapkan balas jasa.