Sebelumnya, bidang pertanian telah unjuk diri bertanam sayuran, singkong dan bunga. Juga kelompok  tata busana telah menghasilkan karya-karya menjahitnya.
Barangkali terlihat sepele untuk orang-orang normal. Namun tidak, untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Mereka harus dibiasakan terus-menerus. Mulai dari memegang alat seperti pisau yang tajam, menghidupkan api, atau mencuci peralatan.
Juga harus didampingi, bagaimana proses mengupas ubi, mengulik sambal, hingga menyajikannya. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa, tidak diperbaiki dengan kasar dan hukuman. Tetapi diajak untuk melakukan lagi dan lagi, sampai anak berhasil melakukannya sendiri.
Perihal bahan utama singkong, tidak dibeli tetapi diambil dari hasil praktik anak-anak bidang pertanian. Kerja sama ini, membuat mereka mengerti bahwa hidup mereka akan saling membutuhkan dan melengkapi.
Dan semua bahagia saat waktunya untuk mencicipi hasil karya anak-anak ini. Semua siswa, guru, para pendamping hingga Ibu Kepala Sekolah ikut menikmatinya.
Terakhir. Senang rasanya, melihat potret-potret ini sekalipun tidak ikut terlibat langsung untuk mendukung mereka. Anak-anak ini, baru sebatas membuat singkong rebus. Selain karena masih harus belajar, sekolah juga belum memiliki peralatan yang lengkap untuk mendukung tata boga, seperti peralatan masak-memasak dan kompos.
Ah, semoga saja ada dermawan yang ikut mengulurkan tangan dan membantu anak-anak ini demi memandirikan mereka di masa mendatang. Sekolah dan dinas pendidikan, tentu saja akan menyambut baik setiap uluran tangan para dermawan yang ingin membantu sekolah ini. Tentu saja, tanpa mengharapkan balas jasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H