Petani adalah sebutan bagi mereka yang memiliki mata pencaharian utama sebagai orang yang bertani atau bercocok tanam. Dari hasil produksi tanaman mereka, ada yang digunakan secara langsung sebagai pangan keluarga dan ada yang dijual, untuk memenuhi kebutuhan hidup selain pangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, petani juga dapat dibedakan lagi menjadi petani pemilik lahan dan buruh tani. Pemilik lahan bisa saja tuan tanah yang memiliki lahan hingga berhektare-hektare.
Setingkat di bawahnya, petani yang tidak memiliki lahan seluas tuan tanah, namun dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Petani tingkat ini biasanya mengerjakan lahannya secara mandiri. Sebab selain mereka sekeluarga mampu mengerjakannya sendiri, kalkulasi untung-rugi juga diperhitungkan.
Buruh tani, adalah mereka yang menggantungkan hidupnya dengan mengerjakan lahan milik orang lain. Imbalannya dapat berupa uang, atau bagi hasil.
Ada tiga kasus menarik yang saya alami sepanjang perjalanan hidup saya berteman dan bekerja bersama petani. Karena alasan kebutuhan hidup yang mendesak, maka lumayan banyak petani mau tidak mau mengijonkan tanamannya kepada tengkulak, atau kepada siapa saja yang mau membeli produk pertaniannya sebelum tiba panen.
Bahkan, ada petani yang kemudian terpaksa harus menjadi buruh saat panen hasil sebab sebagian besar hasil panennya telah dimiliki oleh orang lain. Mereka telah menjual hasil produksi sebelum panen.
Tentu saja, hanya dalam bentuk perkiraan dan dengan harga yang murah sekali. Alhasil, petani menjadi buruh di kebun sendiri. Menjaga dan merawat tanaman yang hasilnya tidak akan dinikmati sendiri, tetapi oleh orang lain yang telah memilikinya.
Praktik-praktik ini, jarang terdata dan tidak diakui oleh instansi-instansi yang mendata hasil produksi petani. Barangkali karena sifatnya kasuistik. Namun, tiga kasus yang saya alami secara pribadi berikut ini adalah nyata.