Suatu siang, beberapa tahun yang lalu. Seekor kerbau berjalan ngos-ngosan diikuti seorang pemuda bernama Sidik. Pemuda berkulit gelap ini memegang tali kendali kerbau dengan  tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang sebatang cambuk dari batang asam.
Kerbau itu kelihatan sangat lelah. Muncul busa dari mulut dan hidungnya Barangkali terlalu lelah untuk menarik dua batang balok kayu bayam di siang bolong itu.
Sementara, badannya basah  karena keringat bercampur air sungai yang diseberanginya. Langkahnya gontai, enggan untuk melangkah maju.
Namun apalah daya, ia harus tetap berjalan sebab jika berhenti, maka pemuda tadi akan menarik tali kekang. Akibatnya hidung kerbau yang dicucuk dan dimasukkan tali nilon, akan sakit.
Di Wetar, kerbau-kerbau pengangkut beban ini dicucuk hidungnya. Mereka menggunakan sepotong kayu yang diruncing salah satu ujungnya. Biasanya pencucukan hidung kerbau ini dilakukan setelah disapih atau menjelang dewasa.Â
Setelah sembuh, maka si kerbau akan mulai dilatih untuk mengangkut beban. Dari gunung turun ke desa yang berada di pantai.
Kerbau pengangkut ini juga disewakan bersama dengan pengendali kerbaunya. Harga, tergantung pada kesepakatan. Dengan mempertimbangkan jumlah kayu dan sulitnya medan.
Di Maluku Barat Daya sendiri, sebenarnya ada kerbau endemik yang populasinya cukup banyak. Sebarannya paling banyak di Gunung Moa. Kerbau ini dinamakan Kerbau Moa.Â
Konon, menurut cerita orang-orang tua, kerbaunya muncul begitu saja dari sekitar gunung. Kerbau Moa suka berkubang di setiap rawa-rawa yang ada. Juga sering melintasi jalan raya, menyeberang jalan. Hampir sama seperti kondisi yang ada di Pulau Sumba, NTT.Â
Dalam kesempatan lain, saya sering berjumpa dengan dua orang penduduk setempat, Bapak Yopy dan Bapak Maksi.Â