Minggu, 10 Juli 2022, saya berkesempatan berwisata lagi ke kawasan air terjun Putri Malu. Kali ini merupakan perjalanan kedua setelah tahun 2019.
Seperti kali lalu, kami berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Tapi tidak menggunakan motor matic. Sebab, medannya sulit terutama 7 km mendekati kawasan air terjun.
Jangan lupa, cek motor sebelum berangkat. Ban motor, rem, olie, dan isi BBM secukupnya. Jangan sampai motor ngadat di dalam perjalanan kita.
Sebaiknya membawa bekal berupa makanan dan minuman sebab di sana tidak ada warung makan. Biar tidak lapar dan haus. Ada sih, warung mie sederhana di Kampung Argo Mulyo. Namun jaraknya masih jauh dengan lokasi air terjun.
Titik berangkat dari Taman Asri, Kecamatan Baradatu. Cukup memakan waktu, lebih dari satu jam perjalanan. Rute yang kami lewati adalah Kampung Bali Sadar Utara, Bali Sadar Tengah, Argo Mulyo, Mengana Siamang dan Kampung Juku Batu. Kampung-kampung ini, termasuk dalam Kecamatan Banjit.
Apa saja yang dapat kita nikmati selain tujuan akhir kita, Air Terjun Putri Malu? Tentu saja ada. Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita nikmati.
Yang pertama, pemukiman komunitas Bali di Kampung Bali Sadhar Utara dan Bali Sadhar Tengah. Yang kedua, rumah panggung masyarakat Lampung di Kampung Juku Batu. Dan yang ketiga, hamparan kebun kopi sepanjang lereng bukit Punggur.
Pemukiman Komunitas Bali
Di BSU dan BST, kita dapat menyaksikan kebudayaan asli Bali yang berkembang di kampung tersebut. Rumah-rumah penduduk bergaya ukir, khas Bali.
Selain Pura besar yang berada di pinggir jalan utama, kita juga dapat menyaksikan tempat pemujaan yang didirikan di setiap rumah. Di sini, kita mudah sekali mengetahui rumah komunitas Bali yaitu dari ukiran pada rumah dan tempat pemujaannya.
Ada juga Balai adat Bali, Banjar. Hampir semua kegiatan adat besar akan dilakukan di Banjar ini. Dan Banjar, tak pernah sepi. Beberapa Pecalang, polisi adat Bali sering berada di Banjar untuk mengatur dan menjaga kelancaran upacara-upacara adat di sana.
Rumah Panggung Warga Lampung
Selain pemukiman orang balik yang unik, kita juga dapat menyaksikan deretan rumah panggung penduduk Lampung. Deretan rumah panggung ini dapat kita saksikan ketika memasuki kawasan Kampung Juku Batu.
Rumah panggung berdinding kayu. Tangganya pun dibuat dari kayu. Sementara atapnya miring dan banyak yang terbuat dari genteng cetakan tangan.
Rumah panggung berfungsi untuk berlindung dari binatang-binatang liar. Selain itu, lantai dasar dapat dimanfaatkan untuk menyimpan hasil panen atau barang lainnya.
Putri Malu Dikepung Kebun Kopi
Jalan beraspal hanya sampai pada Kampung Juku Batu. Tujuh kilometer selanjutnya, kita akan berjuang melalui jalan yang berbatu, berdebu dan hanya selebar roda sepeda motor. Tak jarang, ketika dua sepeda motor bertemu,maka salah satunya harus mengalah dan memberi jalan bagi yang satunya lagi.
Di kiri dan kanan, kita akan menyaksikan kebun kopi milik masyarakat. Kebun kopi ini, terlihat mengelilingi air terjun Putri Malu. Kawasan hutan ini hanya terlihat pada sekitar arela air terjun.
Sebenarnya, kawasan Register 24 adalah hutan lindung. Namun kini masuk dalam hutan kemasyarakatan. Di Register 24 ini, terdapat 10 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKn) yang telah mengantongi ijin.
Dengan demikian, keberadaan kebun kopi yang bercampur dengan tanaman lain seperti petai, jengkol, durian, aren, pinang, advokad, tidak menyalahi aturan pemerintah.
Putri Malu Yang Diabaikan
Sayangnya, sejauh pengamatan saya, kondisi kawasan air terjun semakin ditelantarkan. Berikut empat hal yang patut menjadi perhatian Dinas Kehutanan dan Perkebunan, bersama Pemkab Way Kanan.
Yang pertama, terkait dengan perbaikan jalan. Jalan menuju kawasan air terjun masih sulit sekali. Beberapa rombongan sepeda motor sering berhenti atau keluar dari jalur setapak. Andaikan dapat diperbaiki untuk dapat dilewati kendaraan roda 4, maka akan banyak peminat yang berkunjung ke sana.
Kedua, pengelolaan fasilitas di sekitar air terjun. Fasilitas di sekitar air terjun tidak ada sama sekali. Ada dua bangunan sebagai kamar ganti, namun tidak bermanfaat sama sekali. Tidak ada WC sehingga terpaksa membuang hajat di sekitar, apabila kebelet.
Tidak ada tempat penampungan sampah. Ditambah lagi dengan kesadaran pengunjung yang masih rendah, menyebabkan sampah plastik seperti bungkus sabun dan bungkusan makanan berserakan di sekitar.
Tempat parkir motor cukup luas. Saat kami sampai, ada dua orang penjaga yang bertugas untuk mengarahkan pemgemudi memarkir kendaraannya, sekaligus memungut biaya masuk. Karcis sepeda motor sebesar Rp10.000,00 dan biaya masuk per orang adalah Rp 5.000,00.
Ketiga, pengetatan kawasan hutan. Ketika mengamati kawasan sekitar air terjun, saya menemukan ada kayu yang dipotong. Entah siapa yang memotongnya. Seharusnya pemotongan kayu di sekitar kawasan tersebut dilarang.
Keempat, bersama dinas pariwisata membuat paket wisata. Mengingat potensi wisata yang bisa dinikmati, maka perlu dijalin kerjasama antardinas untuk membuat semacam paket wisata.
Paket wisata bisa digabungkan, menikmati air terjun, dipadu dengan berkunjung ke kebun kopi. Sekalian mendorong penduduk di sekitar untuk membuka kedai kopi, lengkap dengan hidangan khas penduduk setempat.
Tentu saja paket wisata ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, sekaligus menambah pendapatan pemerintah daerah. Tak hanya itu, dengan tetap melestarikan kawasan Bukit Punggur, termasuk air Terjun Putri Malu nan indah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H