Kita semua anak rantau jadi kawan;Â Mari nyanyikan rindu kampung halaman.
Kita semua anak seb'rang susah senang;Â S'lalu berbagi rasa di tanah orang.
Mari kita mainkan saja;Â Peran yang diberikan.
Mari kita satukan tangan;Â Rasa Persaudaraan.
Hampir semua anak perantau, khususnya dari Indonesia Timur, termasuk NTT menghafal lagu berjudul "Bunyikan Suara Hati" yang diciptakan dan dipopulerkan oleh penyanyi Obbie Messakh di era 1980-an. Sekalipun sudah menjadi lagu jadul, masih saja sering dinyanyikan bersama, ketika anak-anak perantau ini bertemu.Â
Biasanya, persahabatan anak perantau benar-benar luar biasa mendalam. Seperti saudara kandung. Sagu salempeng pata dua, orang Maluku bilang. Sapotong ubi rebus ju gigit bakumpul, prinsip orang NTT.Â
Anak rantau, terkenal dengan rasa persaudaraannya. Namun seringkali rusak juga, akibat ulah segelintir orang. Seperti yang terjadi sejak Sabtu (2 Juli 2022) lalu. Ya, pertikaian kelompok perantau di tanah rantau, Babarsari, Yogyakarta menjadi trending topik.Â
Banyak pesan singkat melalui WhatsApp, Facebook, Telegram dan Twitter mengenai pertikaian bernuansa suku, NTT versus Papua dan Maluku.Â
Intinya, memperingatkan mahasiswa dan mahasiswi asal NTT di Yogyakarta untuk berhati-hati. Bahkan menghimbau mereka agar tetap di rumah (kos atau kontrakan) hingga suasana kembali kondusif. Â
Pesan-pesan berantai ini, Â sebenarnya memperingatkan keluarga agar berhati-hati. Namun, malahan menimbulkan kerisauan, baik bagi perantau yang tidak tahu-menahu, maupun orang tua di NTT yang anaknya sedang bersekolah di Yogyakarta.
Solidaritas KebablasÂ
Papua, Maluku, NTT sering saling menyapa dengan kata basudara, sodara atau sobat. Namun seringkali, panggilan tersebut kehilangan arti.Â
Sebabnya, berawal dari pertikaian sekelompok orang. Bermula dari salah paham antara beberapa orang, dalam sekejap meluas menjadi pertikaian massa bermuansa etnis.Â
Solidaritas yang kebablas, membuat pertikaian meluas. Tadinya hanya melibatkan dua geng kecil, yaitu Kelompok Luis beranggota 12 orang kontra kelompok Kece berjumlah 6 orang,Â
Semoga Tidak Terulang Kembali
Setiap bentrokan, pastinya akan menimbulkan kerugian. Tak hanya dialami oleh satu pihak, tetapi kedua pihak. Pepatah kuno Menang jadi arang, kalah jadi abu tetaplah berlaku.Â
Tak hanya itu. Masyarakat yang tidak terlibat dalam pertikaian ini pun ikut terkena dampaknya. Tak cuma dilanda rasa kekhawatiran. Tetapi menderita kerugian. Korban harta.
Belajar dari peristiwa ini, hendaknya kita semua menahan diri. Tidak ikut-ikutan untuk terlibat bentrok. Apalagi sebagai pelajar atau mahasiswa.Â
Orang tua kita di kampung, bersusah payah untuk menyekolahkan kita. Makan seadanya karena memprioritaskan biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka tak pernah mengharapkan balas jasa. Biarlah anak dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi agar kelak nasibnya lebih baik.
Menjadi pelajar atau mahasiswa, selayaknya bisa memilih dan memilah pergaulan. Berkelompoklah untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif.Â
Seminar, pelatihan, atau diskusi-diskusi. Hindari kumpul-kumpul untuk menenggak miras secara bersama-sama. Kasihan, orang tua kita di kampung. Hidup susah. Sementara uang yang dikirim dari kampung kita pakai untuk membeli miras.Â
Lebih kasihan lagi, uang yang dikirim untuk kuliah, tidak dipakai untuk membayar kuliah. Malah untuk melakukan hal-hal di luar pendidikan. Dan, ketika sampai waktunya, kita tidak tamat kuliah. Menjadi tukang bikin onar di rantau orang.
Ah, kalau merantau maka merantaulah dengan benar. Sebab kita merantau untuk memperbaiki nasib. Bukan merantau untuk membuat onar di negeri orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H