Pengunjung metromini lain yang naik turun seilih berganti, adalah para gepeng dan pemalak. Kelompok gepeng biasanya tidak menyanyi atau berpuisi. Tetapi langsung meminta-minta uang dengan menyorongkan bungkusan permen lusuh kepada penumpang yang bermurah hati.Â
Ada juga pemalak yang biasa memaksa agar setiap penumpang memberi mereka uang. Seringkali mereka bertiga. Satu orang di pintu belakang, satu di pintu depan dan satunya lagi menjalankan aksinya meminta sumbangan dengan nada memaksa.
Komplotan pencopet meraja lela
Jangan lupa. komplotan copet ada di mana-mana, di dalam bus. Tak luput pula, di dalam Metromini. Mereka biasa memepet calon korban yang kurang hati-hati. Salah satu temannya mendorong, lalu yang lain mencopet incarannya. Dompet atau HP.Â
Saya, satu kali kena copet. Yang dicopet adalah Hp Nokia 5110. Kejadinnya di tahun 2001 di Metromini.Â
Saat itu, salah seorang memepet saya di pintu turun dalam dalam sekejap salah seorang temannya merogoh kantong samping celana dan kami semua turun. Ah, setelah turun ternyata HP-ku sudah raib.
Bayar cepek, sesuatu yang ngangenin
Satu hal yang membuat saya rindu pada Metromini, adalah cukup bayar cepek sambil berkata, "mahasiswa". Setelah tidak mahasiswa lagi, saya masih sering bayar cepek sambil berkata, "depan". Artinya ya sudah mau turun. Padahal masih jauh. Sering kali kena omel kondektur, tapi rata-rata penumpangnya pada cuek.
Kini, Metromini telah dimuseumkan alias dihentikan operasionalnya di Jakarta. Sebagai pengguna jasa Metromini, saya berharap bahwa Metromini benar-benar masuk dalam museum Jakarta sebagai bagian dari sejarah Kota Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H