Mereka bertiga berdialog dalam bahasa setempat yang belakangan saya baru tahu, bahasa Jawa. Lalu salah seorang menyampaikan harus bayar Rp 15.000 barulah diantar ke tujuan, Â yang ternyata dekat dengan terminal.Â
Puji Tuhan, setelah saya membayar Rp 15.000, mereka mau mengantarkan saya hingga pada tujuan, tetapi di drop dipinggir jalan saja. Terpaksa, saya harus memikul koper sambil mencari alamat dimaksud.
Kakak saya yang saat itu tinggal di Berbek, Waru begitu kaget ketika saya sampai. Maklumlah, saat itu komunikasi lebih sering dilakukan dengan surat-menyurat atau telegram. Ada sih yang punya telpon rumah tetap terbatas pada kalangan atas.
Disambut oleh Pengurus Gamanusratim
Perjalanan selanjutnya, saya harus berangkat ke Bogor. Tetapi tidak ada jalur bus tujuan Bogor. Akhirnya, diantar oleh kakak menuju stasiun kereta api Turi, Surabaya. Pesannya, turun di Stasiun Senen. Wow...perjalanan pun dimulai. Kereta ekonomi, lengkap dengan penghuni-penghuni tambahannya: pengamen, pengemis, penjaja makanan. Bahkan mungkin juga copet.
Sampai di Senen, saya mencoba untuk bertanya di mana harus naik bus menuju Bogor. Agak lupa, naik apa tetapi saya berhasil sampai di UKI Cawang, lalu mencari bus-bus menuju ke Bogor.Â
Dan lagi-lagi Puji Tuhan, beberapa senior dari Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (Gamanusratim)Â membuat posko di Terminal Baranangsiang Bogor sehingga bisa menjaring anak-anak NTT yang datang melalui terminal bus.
Dan selanjutnya, senior-senior inilah yang mengurus kami. Dibawa ke kampus untuk mendaftar, mencari kos, atau menginap sementara di kos mereka sampai mendapatkan kos.Â
Cara mereka memperlakukan kami seperti adik-adik kandung inilah yang kemudian membuat kami mengikuti jejak mereka. Melakukan kegiatan penyambutan mahasiswa baru setiap tahun.
Jatuh Bangun Belajar Komputer