Salut untuk petani milenial kita, Guido Tisera yang telah menginspirasi kita dalam topik pilihan Tradisi Bertani di Daerahku. Bangga karena di saat banyak generasi muda berlatar belakang keluarga petani berlomba-lomba untuk berpindah sektor, sahabat milenial ini malah menekuni dunia pertanian.Â
Layaknya tradisi bertani di tempat lain yang menarik bahkan unik, maka daerah saya pun ada kebiasaan yang masih dipertahankan dalam praktik-praktik bertani di kampung.Â
Tradisi-tradisi ini menarik dan penuh dengan pelajaran tentang bagaimana petani membangun relasinya, baik dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alamnya.
Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh petani di kampung kami, Biboki, TTU, NTT, adalah melakukan rutinitas Tah Fe'u setiap tahun.Â
Tah fe'u dibentuk oleh dua suku kata, tah yang artinya makan dan fe'u yang berarti baru. Sehingga jika digabungkan maka dapat diterjemahkan menjadi 'makan baru'.Â
Makan baru, apabila didefinisikan lebih kurang mengandung makna memasak hasil panen yang baru saja dipanen sebagai pertanda bahwa pangan tersebut ke depannya, sudah dapat diolah dan dimakan oleh seluruh anggota keluarga. Tentu saja, tanpa ada kekhawatiran mengenai bala atau musibah yang akan dialami.Â
Sepanjang saya menghabiskan masa kecil dan remaja di kampung, hanya ada 3 hasil panen yang harus diawali dengan Tah fe'u.Â
Ketiga pangan dimaksud adalah panen jagung (pena), padi ladang (ane) dan kacang turis (tunis). Untuk padi sawah, tidak ada kegiatan tah fe'u. Barangkali, dulu nenek moyang kami tidak memiliki budaya bertanam padi sawah.Â
Turis, atau dalam literatur dikenal dengan nama kacang gude atau kayo (Cajanus cajan) adalah tanaman kacang-kacangan yang bersifat tahunan.Â