Koto
Koto adalah sebutan untuk kacang. Jika ditambah kata liar, maka disebut sebagai kot fui (kacang liar). Kacang ini memang liar dan beracun sehingga sering dinamakan kot amafun. Penduduk di Kabupaten TTS dan Kupang menyebutnya kotlaso.
Keunikannya menarik beberapa peneliti untuk memperdalam kandungan apa saja yang dimiliki kot fui ini. Diantaranya ditulis oleh D. Puspita, dkk dalam ejournal.uksw.edu. Dari literatur ini, saya menemukan nama bahasa Indonesianya adalah kacang Arbila. Dan nama ilmiahnya Phaseolus lunatus.
Kot fui memiliki kandungan sianida (HCN) yang sangat tinggi. Makanya, beracun. Zaman dahulu, bahkan hingga merenggut nyawa orang yang mengkonsumsinya jika tidak diolah dengan benar.
Pengetahuan penduduk setempat untuk menghilangkan racun sianida ini adalah dengan cara direbus hingga 10-12 kali. Caranya, setelah air rebusan mendidih, maka periuk diangkat dan airnya dibuang lalu diisi air baru. Dilakukan berulang-ulang hingga 10 kali. Paling aman sampai 12 kali.
Hasilnya disebut kotpese' dapat dicampur dengan garam dan cabe, tergantung pada selera. Saya tidak tahu, apakah vitamin yang ada di dalam kacang pun hilang bersama air yang dibuang. Tapi rasanya seperti hambar, sehingga ditambahkan garam. Intinya, saat paceklik seluruh anggota keluarga dapat mengenyangkan perut mereka.
Kotpese' ini juga masih sering dijual di pasar-pasar tradisional yang ada di daratan Timor. Biasa dijual oleh mamak-mamak yang datang dari kampung juga.
Maek Mina
Dibanding dengan sagu (putak) dan kacang arbila (kot fui), maek mina adalah makanan yang tidak mengalami perkembangan. Kita tidak akan menjumpai makanan ini di pasar-pasar tradisional.