Bantuan Langsung Tunai atau BLT yang menyasar hingga ke masyarakat pedalaman Timor Barat ada manfaatnya. Secara jangka pendek, penduduk dapat menggunakan bantuan uang tersebut untuk membeli kebutuhan pokok seperti beras.Â
Juga satu atau dua dus susu untuk anak balitanya. Bahkan, bisa lebih dari itu apabila para penerima manfaat mampu mengelola bantuan tersebut dengan baik, sesuai dengan peruntukannya.
Tetapi dalam jangka panjang, BLT menciptakan masalah ketergantungan. Petani berharap pada BLT, kebun tidak dirawat secara baik. Dibiarkan saja untuk ditumbuhi ilalang dan semak belukar. Tumbuhan liar ini pun tidak bisa diolah, entah untuk pangan manusia maupun pakan ternak.
Beberapa waktu lalu, saat berkomunikasi dengan kakak ipar saya di kampung, ia menyampaikan bahwa musim kelaparan hampir tidak ada lagi di kampung. Apabila warga gagal panen, maka bantuan pangan bisa diakses setelah adanya pendataan.
Membantu sih. Tetapi sampai kapan bantuan langsung itu akan diluncurkan terus? Apakah akan tetap dipertahankan dari generasi sekarang ke generasi berikutnya dan berikutnya lagi?
Ah sudahlah. Toh berbagai bantuan itu ada pengurusnya. Yang penting tepat pada sasaran dan yang disasar pun dapat memanfaatkannya dengan baik.
Saya lebih tertarik untuk mengemukakan sumber pangan lokal yang biasa dimanfaatkan oleh penduduk setempat ketika tanaman pangan tak mampu memenuhi kebutuhan makan penduduk. Tepatnya, di daerah asal saya Biboki, Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur.
Sumber pangan ini, tidak pernah ditanam oleh penduduk setempat. Tumbuh liar dimana saja. Di hutan, pinggir sungai atau bekas kebun yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Tumbuhan liar dimaksud adalah pohon gewang, kacang hutan, dan suweg batang putih. Penduduk setempat biasa menebang pohon gewang untuk diambil tepung yang tersimpan pada batangnya. Hasil pengolahannya dinamakan Putak. Yang diambil dari kacang hutan, adalah bijinya yang sudah kering. Sedangkan bagian yang dimanfaatkan dari suweg adalah umbinya, dinamakan maek mina.