Berkunjung ke Aceh tanpa menikmati secangkir kopi Aceh itu kurang afdol. Apalagi bagi kita yang suka menyeruput kopi saban hari. Rasanya rugi pakai bingitz.
Berdiriya kedai kopi diman-mana adalah salah satu dari sekian banyak keunikan bumi Serambi Mekkah ini. Ya, Aceh tak hanya terkenal dengan bangunan sucinya, Mesjid Raya Baiturrahman itu.
Juga tak hanya memiliki warisan leluhur semisal makam Sultan Iskandar Muda, peninggalan meriam kuno atau tarian Saman yang sudah go international dan 'menyihir' banyak penonton.
Aceh adalah negeri 1001 kedai kopi. Sekalipun hampir di setiap pinggir jalan berdiri kedai-kedai kopi, selalu terlihat ada orang. Dari sini saya merasa, orang-orang Aceh bersikap terbuka. Kedai kopi, menjadi pilihan mereka untuk bertemu dengan keluarga, sahabat kongkow hingga rekan bisnis.
Asyiknya lagi, segmentasi pengunjung kedai kopi di Aceh sangat beragam. Orang tua dan anak muda. Kaum pria, juga wanita. Tentu saja, dengan tetap mengikuti syariat yang berlaku di sana. Semua pendatang dari luar Aceh, juga beradaptasi dengan peraturan di sana.
Karena beragamnya segmentasi pengunjung itulah, coffee shop di Aceh pun berusaha untuk memenuhi selera pelanggannya. Selain kopi yang disajikan dalam bentuk original, ada juga mengikuti trend yang terjadi di kedai kopi pada umumnya.
Warkop Tradisional Tetap Eksis di Aceh
Jika kita amati dengan sedikit serius, akan kita temukan warkop tradisional kopi Aceh yang masih eksis di sana. Di tengah berkembangnya modern coffee shop dengan berbagai varian rasa, kedai kopi tradisional tetap hadir.
Saya sangat suka dengan cara unik pemilik kedai kopi tradisional dalam menyeduh kopinya. Kopi di masak, lalu ditumpahkan pada wadah. Dan saat dinikmati, rasanya seperti menjalar ke seluruh tubuh. Nikmat.