Minyak Nilam tersebut kemudian diekspor ke Perancis. Dan kala itu, harga minyak Nilam termasuk bagus, Rp 700.000 di tingkat petani.
Namun pendampingan hanya dilakukan sekitar 2 tahun. Setelah dihentikan, kelompok tani pun tidak merawat tanamannya seintensif dulu. Pak Gianto, salah satu petani yang masih bertahan untuk mengelola kebun Nilamnya. Ala kadarnya. Termasuk mencari dan menjual minyak hasil penyulingannya sendiri ke Banda Aceh.
Upaya Mengembalikan Kejayaaan Nilam Aceh
Nilam Aceh pernah jaya. Selain karena telah dibudidayakan dan dipasarkan sejak dahulu kala, minyak Nilam Aceh memiliki kualitas tinggi.
Kini, beberapa lembaga mulai giat lagi untuk mengembalikan kejayaan Nilam Aceh. Salah satunya, kolaborasi antara Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC-USK) dengan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Program kolaboratif ini juga melibatkan stakeholder lain, di antaranya Bappenas dan Kemenkop RI. Dengan dukungan riset dan dana yang memadai, mereka mampu membina petani untuk bertanam Nilam secara baik, menjalankan proses penyulingan untuk mendapatkan minyak berkualitas tinggi.
Menurut Hendra, penggerak petani di lapangan sekaligus bertanggung jawab terhadap operasional penyulingan minyak dan pembuatan kompos daun Nilam, harga di tingkat petani sekarang dibandrol Rp 630.000 per kilogram minyak Nilam. Petani dapat menjual produk mereka melalui Koperasi Inovasi Nilam Aceh, atau nama kerennya INOVAC.
Beberapa berita keberhasilan kolaboratif ini dapat kita baca di beberapa media massa seperti pada www.ajnn.net. Dalam media ini, para penggerak menyampaikan bahwa program yang mereka jalankan ini sifatnya dari terpadu.
Ya, konsep yang mengusung tema "Sustainable Farming Nilam, from Seed to Seal" ini dipusatkan di Gampong Geunteut, Lhoong ini mengusung program besar mulai dari pembibitan dan budidaya ala fertigasi. Juga menyangkut pengembangan rumah kompos dengan zero waste technology, pembangunan shelter dan ketel penyulingan nilam.