Voter education atau pendidikan untuk pemilih merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan bagi segenap warga negara Indonesia. Terutama, Â bagi warga yang telah memiliki hak pilih dalam Pemilihan Umum.
Pendidikan untuk pemilih, dalam cakupan yang lebih luas disebut sebagai pendidikan politik. Cukup banyak referensi yang mendifinisikan apa itu pendidikan politik. Dua referensi yang dapat disampaikan di sini adalah pengertian dari Kartini Kartono  dan satunya lagi dari buku karangan Alfian.
Dalam buku terbitan 2009 berjudul Pendidikan Politik: Sebagai Bagian Pendidikan Orang Dewasa, Kartini Kartono mendifinisikan Pendidikan Politik sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sengaja dan sistematis.
Tujuannya adalah untuk membentuk dan memampukan individu yang disasar guna mencapai tujuan politik itu sendiri. Dalam proses pencapaian tersebut, dilakukan dengan penuh tanggung jawab secara moral.
Selanjutnya Alfian (1981) mengemukakan pendapat mengenai Pendidikan Politik dalam bukunya 'Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia'. Pendidikan politik merupakan usaha yang sadar dengan maksud mengubah proses sosialisasi politik masyarakat.
Tujuannya, agar masyarakat paham dan menghayati nilai yang ada pada sistem politik kemudian membangun idealisme mereka. Masyarakat yang telah terbangun idealismenya, tidak akan terjebak dalam politik serba instant dan mudah terpengaruh pada janji-janji manis.
Baik Kartini maupun Alfian, sama-sama menyinggung hubungan pendidikan politik dengan idealisme individu dan masyarakat. Namun, proses pembentukan dan penghayatan terhadap idealisme politik, tak terbentuk begitu saja.
Seseorang perlu mengenalnya terlebih dahulu, menerima, menghayati lalu menjatuhkan pilihan politik berdasarkan nuraninya. Tentu saja, tanpa merasa terpaksa karena tekanan dari pihak manapun. Bebas menentukan sendiri karena berpolitik merupakan hak dari setiap warga negara.
Mengapa Pendidikan Pemilih Penting?
Pendidikan pemilih (voter education) didefinisikan dalam PKPU 10 Tahun 2018. Pada pasal 1 (ayat 25), disebutkan bahwa "Pendidikan Pemilih adalah proses penyampaian informasi kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran Pemilih tentang Pemilu".
Peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran terhadap Pemilu tidak hanya diberikan pada orang tertentu. Tetapi diberikan kepada keluarga, pemilih pemula, pemilih perempuan, pemilih penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus.
Pasal 15 PKPU 10 tahun 2018 (ayat 1) juga mengamanatkan agar pendidikan pemilih dilakukan pada kaum marjinal, komunitas, keagamaan, relawan demokrasi, dan warga net alias netizen.
Pentingnya pendidikan politik, tentunya berkaitan pula dengan penggunaan hak politik warga negara. Tak hanya tentang hak, tetapi terkait dengan kewajiban. Salah satu kewajiban yang harus ditaati oleh masyarakat, adalah menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihannya.
Pendidikan pemilih, tak hanya semata tentang teknis pemilihan di dalam bilik suara. KPU dan pelaku lain yang terlibat dalam penyelenggaraan hendaknya dapat melakukan pendidikan politik dan sosialisasi kepada masyarakat sesuai dengan aturan yang diberlakukan.Â
Pengalaman membuktikan, para calon bersama dengan partai politik dan tim suksesnya sering melakukan sosialisasi yang sifatnya short-cut. Hanya memandu calon pemilih untuk tertarik, pada dirinya. Bahkan melakukan simulasi dimana hanya nama calon bersangkutan dan nama partainya yang ditulis. Yang lain, dihilangkan atau hanya diberi titik-titik dan tanpa foto. Â
Beberapa poin penting yang perlu diberikan dalam pendidikan pemilih, antara lain:
Pertama, memberikan pencerahan kepada warga pemilih mengenai siapa dan partai politik mana yang dapat dipercaya. Â Tentu saja yang bisa menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat, manakala mereka terpilih dalam pemilu.
Kedua, menyadarkan masyarakat untuk tidak memilih wakil berdasarkan janji-janji politik yang terdengar manis tetapi sulit dijalankan. Alias, janji omong kosong. Termasuk di dalamnya, menghindari money politics yang begitu marak menjelang pemilu.
 Money politics atau politik uang, bukanlah hal yang menjadi rahasia lagi. Model yang paing dikenal oleh masyarakat dan dibicarakan dengan berbisik-bisik saja adalah istilah 'serangan fajar'. Serangan fajar yang mana para pemilih ditawari dengan amplop berisi uang atau aneka sembako.
Ketiga, membuat masyarakat untuk menghormati pilihan orang lain. Tidak boleh memaksakan kehendak pada pemilih lain. Menghindari upaya intimidatif. Dan tidak saling bertikai karena perbedaan pandangan dan pilihan. Berbeda, bukan berarti bermusuhan.Â
Tetapi tetap hidup secara rukun dan damai di lingkungan sekitar. Saat mengikuti kampanye, tidak mengeluarkan kata-kata hujatan pada orang lain. Tidak juga merusak baliho atau bendara orang dan partai lain. Biarkanlah baliho dan gambar itu menambah semarak kampanye.Â
Keempat, memampukan masyarakat untuk benar-benar memanfaatkan hak pilihnya dengan baik dan benar. Jangan sampai karena tidak menguasai proses atau teknis pemilihan, akhirnya suara pemilih menjadi tidak sah. Harus menunggu 5 tahun lagi untuk menyalurkan pilihannya lewat Pemilu.
Apabila pendidikan pemilih dapat dilakukan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat, maka tentunya akan berkontribusi positif pula pada pendidikan politik warga negara.Â
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia pun akan semakin tinggi. Pada gilirannya, akan ada perubahan dalam kehidupan bangsa kita. Adil dan merata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H