Penanaman pohon penaung, juga dilakukan secara asalan. Sering kali, tanaman yang tumbuh di kebun, dibiarkan saja hingga berproduksi, sekalipun tumbuhnya dekat sekali dengan tanaman kopi. Akibatnya, selain terjadi kompetisi dalam unsur hara, pohon-pohon inang ini pun menjadi sarang hama tanaman kopi.
Cara panen dilakukan tanpa seleksi. Ketika sebagian buah kopi sudah tua (berwarna hijau kuning atau merah), maka saatnya petani panen. Semua buah, termasuk bunga akan dipanen dengan sistem rampok.Â
Tak ada yang disisakan dalam satu tangkai. Dengan cara ini, kualitas kopi menjadi rendah karena yang matang sempurna tercampur dengan yang muda.
Panen campur juga merusak bunga kopi karena semua dipetik dengan sekali tarik. Padahal, sebenarnya bunga-bunga ini masih akan berkembang menjadi buah, dipanen menyusul.Â
Pemasaran adalah salah satu kendala utama yang dihadapi oleh petani di Way Kanan, khususnya di Bukit Jambi. Dengan kondisi buah yang tercampur, kisaran harga biji kopi yang telah dibersihkan kulitnya antara Rp 18.000 hingga Rp 20.000. Hampir semua petani menjual hasil panennya pada pedagang pengumpul tingkat dusun atau kampung.Â
Seberapa pun hasil panennya, akan dijual semuanya oleh petani kepada pedagang pengumpul. Padahal jika ditahan sebagian, maka harga akan menaik beberapa bulan kemudian.Â
Petani jarang menjual hasil panennya secara terjadwal ke pedagang di level kabupaten atau provinsi. Juga jarang dijual kepada pengecer seperti pemilik kedai kopi yang lumayan banyak berada di Way Kanan.Â
Kendala pemasaran, juga membuat petani untuk tidak melakukan panen selektif. Sebab tidak ada perbedaan harga antara panen selektif dan panen rampok.Â