Barangkali tidak akan ada hari spesial terkait persampahan di Indonesia bila tidak ada suatu insiden yang menewaskan lebih dari 100 jiwa.
Andaikan gunungan sampah sepanjang 200 meter dengan tinggi sekitar 60 meter di TPA Leuwigajah, Cimahi Selatan tidak goyah dan rubuh akibat ledakan gas metan dan guyuran hujan tiada henti pada 21 Februari 2005 maka mungkin saja Hari Peduli Sampah Nasional alias HPSN belum atau tidak pernah dicanangkan.
Hari ini, HPSN telah memasuki tahun ke-17. Sepanjang perjalanannya, cukup banyak kegiatan yang dicanangkan oleh kementerian yang menangani lingkungan hidup di Indonesia. Setiap tahun, diperingati dengan tema dan penekanan yang berbeda.
Mulai dari himbauan untuk mengurangi produksi sampah, mengelola sampah hingga pada aksi membersihkan aneka sampah. Di pinggir jalan dan terminal bus. Di sungai- sungai dan pantai, bahkan di dalam laut.
Akankah ProkLim Meningkatkan Kepedulian Masyarakat terhadap penangan sampah di lingkungan sekitar?
Menarik sekali, tema yang diusung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kali ini adalah “Kelola Sampah, Kurangi Emisi, Bangun Proklim”. Pers lirisnya dapat di baca pada http://ppid.menlhk.go.id
Dalam siaran persnya, Kementerian LHK inging mensinergikan tiga program utamanya: pengelolaan sampah, pengendalian perubahan iklam dalam hal pengurangan emisi via Proklim, dan perhutanan sosial.
Hal yang perlu dilakukan secara berantai adalah terkait dengan Proklim alias Program Kampung Iklim. Programnya baik sekali. Hanya saja, harus benar-benar dipastikan, agar benar-benar tidak sekedar baik di kertas tetapi implementasinya terlaksana dengan baik pula.
Konsep konsolidasi penanganan sampah dengan melibatkan masyarakat dalam Proklim ini jelas. Dimulai dari rumah tangga sebagai basis produsen sampah, tingkat RT, RW, Lingkungan/Dusun, hingga kelurahan. Sampai dengan lingkup yang lebih luas lagi dalam konsep kesatuan pemukiman.
Sekalipun konsepnya bagus, implementasi penanganan sampah masih akan terlihat lemah. Pertama, konsolidasi antar instansi hingga ke level RT masih kurang terkoordinir. Bak-bak sampah, mobil sampah tidak ada. Jika pun ada, tidak berfungsi dengan baik.
Kedua, kesadaran masyarakat rendah. Sampah yang dproduksi di dalam rumah tangga tidak dipilah-pilah menjadi sampah organik, anorganik dan limbah B3. Sebagian dari kita masih mengumpulkan semua sampah dalam satu wadah, diikat dalam plastik besar lalu disimpan di depan rumah untuk diangkut oleh petugas kebersihan.
Sebagian anggota rumah tangga, bahkan nekad membuang sampah-sampahnya ke pinggir jalan, di sekitar pemukiman orang lain atau di lahan-lahan kosong. Asal sampah dibuang jauh dari rumahnya, sudah senang. Tak peduli pencemaran lingkungan. Tidak mau tahu, sampah-sampah yang dibuang itu menebarkan aroma busuk dan dikocar-kacirkan oleh binatang.
Gerakan Mengurangi Produksi Sampah
Sampah memang selalu ada di sekitar manusia. Ada bermacam-macam: bahan-bahan bersisa; produk tak terpakai; bekas pembungkus barang; dsb.
Sebagian dari kita kemudian berusaha untuk mengurangi sampah-sampah ini. Membawa tas belanja saat ke pasar atau super market untuk berbelanja.
Membeli barang sesuai kebutuhan. Tidak melakukan aksi borong barang atau produk karena kuatir kehabisan produk tersebut. Membeli produk yang kemasannya bisa didaur ulang.
Baru-baru ini, pembungkus barang-barang online pun berkontribusi yang cukup besar terhadap penumpukan sampah. Bubble wrap, plastik pembungkus dan selotip termasuk yang paling banyak dipakai dalam belanja online yang kemudian berakhir di tempat sampah karena tak dipakai lagi oleh pembeli.
Penerapan Peraturan tentang Sampah Masih Lemah
Sudah ada Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, undang-undang ini masih lebih banyak mengatur tentang pengelolaan sampah. Utamanya hukum dan konsekuensi mengimpor atau memasukkan sampah ke Indonesia.
Peraturan yang lebih detail yang seharusnya dibuat oleh bupati/walikota terkait dengan persampahan di wilayahnya nyatanya tidak semua memilikinya. Kalau pun ada, jarang disosialisasikan dan dipaksakan kepada warganya untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.
Padahal peraturan ini berguna untuk seluruh warga. Termasuk lingkungan. Masyarakat yang sudah sadar lingkungan, akan tetap merasakan dampak negatif yang timbul akibat sebagian warga yang belum sadar.
Sanksi terhadap pelaku pembuang sampah di sembarang tempat tidak ada, baik dari warga sekitar di bawah pimpinan ketua RT maupun sampai pada level yang lebih tinggi lagi.
Sebagian dari kita, harus dipaksa dengan tegas. Diberi sanksi yang berat, baru dapat mengikuti peraturan tersebut. Didenda atau dihukum baru sadar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI