Kedua, kesadaran masyarakat rendah. Sampah yang dproduksi di dalam rumah tangga tidak dipilah-pilah menjadi sampah organik, anorganik dan limbah B3. Sebagian dari kita masih mengumpulkan semua sampah dalam satu wadah, diikat dalam plastik besar lalu disimpan di depan rumah untuk diangkut oleh petugas kebersihan.
Sebagian anggota rumah tangga, bahkan nekad membuang sampah-sampahnya ke pinggir jalan, di sekitar pemukiman orang lain atau di lahan-lahan kosong. Asal sampah dibuang jauh dari rumahnya, sudah senang. Tak peduli pencemaran lingkungan. Tidak mau tahu, sampah-sampah yang dibuang itu menebarkan aroma busuk dan  dikocar-kacirkan oleh binatang.
Gerakan Mengurangi Produksi Sampah
Sampah memang selalu ada di sekitar manusia. Ada bermacam-macam: bahan-bahan bersisa; produk tak terpakai; bekas pembungkus barang; dsb.Â
Sebagian dari kita kemudian berusaha untuk mengurangi sampah-sampah ini. Membawa tas belanja saat ke pasar atau super market untuk berbelanja.Â
Membeli barang sesuai kebutuhan. Tidak melakukan aksi borong barang atau produk karena kuatir kehabisan produk tersebut. Membeli produk yang kemasannya bisa didaur ulang.Â
Baru-baru ini, pembungkus barang-barang online pun berkontribusi yang cukup besar terhadap penumpukan sampah. Bubble wrap, plastik pembungkus dan selotip termasuk yang paling banyak dipakai dalam belanja online yang kemudian berakhir di tempat sampah karena tak dipakai lagi oleh pembeli.Â
Penerapan Peraturan tentang Sampah Masih Lemah
Sudah ada Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, Â undang-undang ini masih lebih banyak mengatur tentang pengelolaan sampah. Utamanya hukum dan konsekuensi mengimpor atau memasukkan sampah ke Indonesia.Â
Peraturan yang lebih detail yang seharusnya dibuat oleh bupati/walikota terkait dengan persampahan di wilayahnya nyatanya tidak semua memilikinya. Kalau pun ada, jarang disosialisasikan dan dipaksakan kepada warganya untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.Â