demonstrasi besar-besaran di Belgia pada hari Minggu kemarin. Tak tanggung-tanggung, media massa menyebutkan sekira 35.000 orang turut serta dalam aksi yang berawal dengan damai dan berujung kericuhan.Â
Pagi ini Senin (22-11-2021), dalam suatu diskusi rutin informal bersama teman-teman adalah mengenai Aksi massa dengan seruan freedom ini tidak lain adalah usaha menolak pemberlakuan lock down oleh pemerintah Belgia per Rabu (17 November 2021) lalu akibat covid 19 yang kini memasuki gelombang ke-4.Â
Situasi yang memanas tak dapat dikendalikan yang berujung dengan bentrokan antara demonstran dan polisi seperti yang diberitakan oleh  berbagai media, di antaranya dapat dibaca pada https://www.tribunnews.com/internasional/2021/11/22/35-ribu-orang-di-belgia-turun-ke-jalan-menolak-pembatasan-covid-19.Â
Dalam berbagai berita, digambarkan demonstran meneriakkan freedom! freedom! freedom! berkali-kali dan membakar tempat sampah, melemparkan benda-benda ke polisi juga merusak mobil. Polisi Belgia pun tak tinggal diam.Â
Dengan menggunakan meriam air (water canon) dan gas air mata (tear gas), polisi berusaha untuk melakukan perlawanan dan membubarkan massa demonstran. Buntutnya, 4 orang terluka, polisi menahan sekira 40 orang dan menangkap 2 orang.
Alasan utama dari penolakan pemberlakuan lock down di Eropa, khususnya Belgia dan tetangganya Belanda, adalah pergerakan mereka menjadi tidak bebas lagi.Â
Mereka harus menggunakan masker, bekerja dari rumah dan adanya pengujian covid 19 di night clubs. Padahal, mereka tidak sadar bahwa pemberlakuan lock down tersebut adalah untuk mengurangi penularan dan memutuskan mata rantai perkembangan covid 19 Â yang meningkat secara signifikan setiap hari.Â
Jika dikaji lebih mendalam, maka sepertinya ada hal-hal khusus yang menjadi alasan penolakan pemberlakuan lock down oleh masyarakat Belgia. Pertama, berkaitan dengan ekonomi.Â
Bekerja dari rumah, bisa jadi menurunkan pendapatan masyarakat, utamanya mereka yang bekerja di sektor-sektor jasa. Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia.Â
Kasus covid 19 yang belum dapat 'dijinakkan' membuat masyarakat menjadi jenuh dan menolak untuk  mengikuti protokol covid 19 yang dulunya ditaati seperti mengenakan masker atau menghindari kerumunan. Ketiga, ada kelompok yang memancing di air keruh. Momentum-momentum seperti ini, digunakan oleh kelompok tersebut untuk menciptakan kerusuhan.Â
Lebih daripada itu, kita sebagai bangsa Indonesia yang hingga kini masih mengikuti pemberlakuan penerapan covid 19 dengan berbagi level, hendaknya tidak terpengaruh dengan memanasnya situasi di luar negara kita. Siap atau tidak siap, ketika gelombang covid mampir kembali, kita harus berjuang bersama untuk menghadangnya.
Tentu saja, diperlukan kerja sama yang baik, antara pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tanpa kecuali.Â
Kita tetap mengikuti standar protokol covid yang diterapkan di berbagai daerah, sekaligus membantu menyukseskan program imunisasi yang semakin hari semakin terlaksana dengan baik. Dan semoga covid 19 secepatnya dapat 'dijinakkan' dan boleh hidup bersama dengan kita secara damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H