Jakarta macet karena  banyak sekali kendaraan yang memadati seluruh ruas jalan yang ada. Untuk mengangkut barang, tinggal memilih jenis angkutan yang dinginkan. Â
Ada truk, tronton, bus, mikrolet, kereta api dan angkutan lainnya. Yang penting kita memiliki uang untuk membayar penyedia jasa angkutan.
Jika di Jakarta dan kota-kota lain sudah menggunakan kendaraan sebagai sarana transportasi maka di bagian lain dari negara Republik Indonesia ini tidaklah demikian.Â
Jangankan kendaraan roda empat, sepeda motor saja bisa dihitung dengan jari. Semua ini bukan karena masyarakatnya tidak bisa membeli, tetapi karena tidak ada jalan darat yang bisa dilewati oleh kendaraan bermotor.
Itulah gambaran kondisi perhubungan darat dari hampir seluruh desa dan kampung di Kecamatan Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku.Â
Di Desa Lurang dan Desa Uhak misalnya, kita akan sering berpapasan dengan seekor kerbau yang sedang menarik kayu, diikuti dengan si pemilik. Kerbau dijadikan sebagai pengangkut beban utama, khususnya dari area gunung ke pemukiman penduduk yang berada di pesisir pantai. Dengan beralaskan pelana, seekor kerbau mampu menarik 2 hingga 8 kayu balok mentah.
Meskipun kerbau masih dipakai sebagai 'kendaran pengangkut' kayu, tidak semua orang memiliki kerbau khusus untuk mengangkut kayu. Melihat peluang ini, beberapa orang kemudian membuka rental kerbau plus pengiringnya. Jasa angkut tergantung pada jarak dan sulitnya medan. Biasanya berkisar antara Rp. 100.000 - Rp 300.000 per kubik.
Meskipun sering digunakan sebagai pengangkut barang, kerbau-kerbau ini tidak pernah 'bandel' terhadap majikannya. Uniknya lagi, kerbau yang berjalan di depan sementara pemilik kerbau berjalan di belakang.Â
Kerbau-kerbau tersebut rupanya sudah paham dengan pekerjaan mereka, yaitu memindahkan kayu-kayu dari gunung ke pemukiman penduduk di pantai.
Entah kapan kerbau-kerbau ini tidak lagi dijadikan sebagai pengangkut beban? Melihat model pembangunan sarana transportasi di Wetar, maka nampaknya kerbau-kerbau ini harus bersabar untuk jangka panjang. Mungkin lebih dari 7 turunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H