Kedatanganku yang ke dua setelah enam tahun lalu, special weekend karena puncak keramaian pasar malam di daerah Jonker Street digelar. Dengan penerbangan ke Kualalumpur dan dilanjutkan naik bis antar kota langsung dari KLIA karena jadwal keberangkatan bis pukul empat sore, saya tiba di KLIA2 pukul dua siang, ditambah antrian imigrasi tak mungkin terkejar keberangkatan bis pukul dua lewat limabelas. Pasti anda bertanya kenapa dari KLIA bukan KLIA2?
Setelah saya lihat jadwal bis antar kota yang dari KLIA2 berangkat pukul empat lewat lima belas dan tiba di Mahkota Medical Center pukul tujuh lewat lima belas, sedangkan dari KLIA keberangkatan pukul empat dan tiba pukul enam lewat tigapuluh di Melaka Sentral harga tiket tigapuluh lima ringgit, saya bisa naik bis no.17 langsung ke Gereja Merah/ Stadhuys dengan membayar dua ringgit.
Ternyata cuaca tak bersahabat dari Kualalumpur cerah, sampai di jalan bebas hambatan mulai turun hujan mula- mula gerimis kemudian agak lebat. Sesampainya di Melaka Sentral agak mendung, bis no.17 sudah siap jalan ketika saya tiba sehingga tak perlu lama menunggu. Namun saat bis bergerak mendekati Gereja Merah, mendadak curah hujan menjadi lebat, saya bergegas keluar sambil menenteng koper dan berteduh di Muzeum Youth. Menanti hujan reda, dan semakin banyak orang berdatangan untuk berteduh.Â
Dalam hati saya bergumam gagal untuk menikmati kemeriahan pasar malam weekend di Jonker Street, bagaimana mungkin pedagang berjualan di area terbuka. Menit demi menit berlalu hingga tak terasa satu jam, hujan tak menandakan akan reda, gerimis cukup lebat tak memungkinkan saya untuk menerobos, mana lokasi Tang House Hotel saya belum tahu meskipun tertulis jalan Tokong no.78 karena dari pihak hotel tidak menjawab emailku.
Hujan mulai mengecil, perutku sudah mulai minta segera diisi, saya beranikan diri untuk menerobos gerimis dengan payung, tujuanku lamgsung ke Jonker Street, benar saja tenda-tenda penjual makanan masih nampak kosong padahal sudah pukul delapan malam, saya melewati sebuah kedai makan dan akhirnya mampir untuk sekedar mengganjal perut yang sudah bernyanyi, kupesan sepiring kwetiau goreng dengan harga tujuh ringgit.
Puji Tuhan hujan sudah berhenti meski waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, pedagang di pasar malam sudah mulai siap menyambut para pelancong, berbagai bangsa berbaur di pasar malam weekend Jonker Street, banyak dari Tiongkok.
Saya mulai dari dekat penginapan ada panggung yang menggelar acara menyanyi dan menari pesertanya orang- orang paruh baya tetapi tetap semangat seru juga.Â
Pasar malam weekend di Malaka sebenarnya sama seperti yang ada di Indonesia, hanya saja mereka bisa mendatangkan wisatawan baik lokal maupun mancanegara itu keistimewaannya. Letaknya di daerah yang diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco. Sarana transportasi yang mudah terjangkau dan betebaran penginapan baik yang budget maupun hotel berbintang. Indonesia kapan ya bisa mengikuti?Â