Waktu telah merangkak menunjuk pukul enam lewat tigapuluh menit, kakiku sudah bersiap untuk menyusuri jalanan di Jonker Street, Malaka. Ketika pintu terbuka ternyata belum nampak keramaian seperti semalam dimana di atas panggung ada yang menyanyi dan ada yang menari.Â
Yang kutemukan hanya seorang bapak yang sedang menunaikan tugas membersihkan jalanan. Dan iringan suara cuitan burung gagak yang memecah kesunyian pagi.Â
Kota Malaka merupakan kota tua, yang telah diakui sebagai World Heritage oleh Unesco. Â Banyak dijumpai rumah dengan bamgunan kuno, ada yang dijadikan toko dan juga rumah tinggal. Terkenal dengan kapal dari Laksamana Cheng Ho.
Saya kembali duduk dan memulai obrolan dengan si ibu, dia bercerita sudah enam belas tahun tinggal di Malaka dan tidak bekerja di rumah orang melainkan dia dan suami menyewa rumah dan bekerja sendiri dengan bekerja serabutan seperti mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan rumah hanya memerlukan waktu sekitar satu jam dan bisa dapat beberapa rumah dalam sehari, satu pekerjaan bisa dapat seratus kadang seratus limapuluh ringgit. Juga membuat bawang goreng untuk dijual.Â
Dalam sebulan minimal bisa memegang uang seribu ringgit. Dan kutanyakan apakah punya ijin tinggal? Ibu ini bilang ada dan tiap tahun diperpanjang  hanya saja jika sudah berumur tidak boleh diperpanjang permitnya.Â
Ibu ini sekarang sudah berumur 46 tahun, dia cemas tahun depan masih bisa mendapat perpanjangan permit atau tidak. Saat ini sudah membeli sawah dan tanah yang rencana akan dibangun untuk masa tua. Tak terasa tigapuluh menit berlalu dan pesananku juga si ibu sudah datang, dan kami berpisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H