Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati Ibuku Setahun yang Lalu

23 September 2018   18:46 Diperbarui: 23 September 2018   19:01 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu adalah sebutan sakti yang disematkan pada wanita yang melahirkan anak-anaknya. Dalam perumpamaan sastra tertinggi, ibu diandaikan seorang bidadari tanpa sayap yang selalu mengiringi fisik dan pikiran mereka. Mau tahu seperti apa ibuku.

"Julie, please sayang. Ibu tahu ini hari minggu, tapi tidak boleh terus-menerus mendaratkan tubuhmu di ranjang." Ibu menghambur masuk ke dalam kamarku dengan celotehannya yang mulai terdengar melebihi jam weker.

Setiap pagi selalu begitu, tidak peduli hari senin, selasa, atau bahkan hari minggu. Beliau akan membangunkan sambil menarik paksa selimut yang menjadi tempat nyaman menina bobokan anak gadisnya ini. Beliau tidak ingin aku terbaring lebih dari delapan jam di tempat tidur. Menurutnya tidur terlalu banyak kurang baik buat kesehatan.

"Julie, kau harus sarapan cukup. Jangan cuma minum teh saja, tubuhmu itu anemia, gampang kurang darah."

"Julie, warna pakaianmu jangan terlalu terang. Nanti bisa menarik perhatian orang, anak perempuan itu, lebih cocok memakai baju yang bewarna kalem-kalem saja."

Aku memang anak satu-satunya dalam keluarga dan ibu selalu bersemangat menggaduhi seluruh hidupku. Setelah ayah meninggal dalam kecelakaan, ibu mulai bersikap protektif.

Aku tidak menyalahkan beliau, tapi bukankah sekarang anaknya ini sudah besar dan memakai baju SMA? Sudah berada di kelas  dua, saatnya melakukan sendiri apa yang diinginkan, bukan malah terbelenggu karena diatur oleh Ibuku sendiri.

"Bisa kau bayangkan, betapa tersiksanya selama 16 tahun tinggal bersama Ibuku sendiri?" tanyaku pada Beni. Aku berceloteh panjang dengan curhatan yang tanpa titik koma.

Laki-laki ini adalah teman seperjalananku saat bel pulang sekolah telah berteriak panjang. Kami ditingkat yang sama, tapi di kelas yang berbeda. Kalau saja rumah kami tidak sejurus, tentu aku tidak bersamanya. Mengenal Beni dengan lesung pipi yang mirip penyanyi terkenal, Afgan Syahreza. Begitu mengemaskan ketika ia memperlihatkan senyum.

"Kau tahu, Ben, kadang aku malas untuk pulang ke rumah. Saat melihat pintu rumah, langsung bisa menebak, kalau Ibu sudah berdiri di belakang sana menunggu. Menanyakan apa semua hal yang sudah kulakukan di sekolah, padahal anak semata wayangnya ini belum duduk, berganti pakaian, bahkan menelan makanan." Kuhela napas panjang sambil melirik dengan Beni cemas. Sesaat senyumnya mengembang. Lensung pipi itu kembali membuat gemasku bangkit dan ingin menyentuhnya, tapi itu tidak mungkin. Maaf, itu agak, umm ... membuat pipi merona.

"Tapi bagaimanapun juga kau harus pulang, Julie. Tidak mau, kan, tiba-tiba saja ada berita di tivi dan koran tentang seorang Ibu yang menghubungi pangkalan udara hanya untuk mencari anak perempuannya yang sedang marah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun