"Ini belanjaan anda, terima kasih dan silakan datang lagi." Gadis yang berdiri di belakang kasir itu tersenyum ramah sambil melayani para pembeli yang sudah antre memanjang. Â
Beberapa kali aku melihatnya bertugas saat membeli satu ada dua barang di mini market itu. Penampilannya masih dengan seragam sama, baju putih berlengan pendek dan celana hitam panjang. Menandakan orang yang memakai warna itu adalah karyawan training.
Rambutnya lurus sebatas leher, kulitnya kuning langsat dan berwajah manis. Beberapa kali pula saat ia melayaniku dan menghitung barang belanjaan, aku berusaha mendekat dan berkenalan, tapi moment itu selalu tidak bisa kuhadapi karena didera rasa gugup seperti saat dosen killer meminta untuk mengerjakan soal ujian. Otak langsung macet.
Pagi itu di mini market yang sama aku kembali melihatnya di jam tugas yang berbeda, dengan suka cita diiringi debaran jantung yang berdisco riang, aku nekat mengambil beberapa barang yang tidak ada di daftar belanjaan. Dan saat itu tidak ada yang tahu kalau nasib akan membawaku pada jalan hidup yang mencengangkan.
"Hai." Aku menyapanya dengan sikap salah tingkah. Gadis itu hanya melihat sesaat, dia terlihat heran lalu kembali menghitung total harga pada mesin.
"Namaku Panji Argani. Boleh kenalan?" tanyaku tanpa basa basi. Respon selanjutnya, wajah manis di depanku itu bukan hanya tersenyum, tapi juga mengiyakan. Tangan kami bersalaman sebentar saat ia menyebutkan nama.
"Audi Felisia."
Sejak saat itu kami mulai rajin bertemu dan jalan berdua. Ternyata selain bekerja sebagai kasir di mini market, Audi Felisia adalah seorang pelukis. Ia hidup sendiri dan orang tuanya sudah meninggal saat ia masih sma.
Audi mendapatkan penghasilan hidup dari pekerjaannya sebagai kasir. kemampuannya dalam melukis wajah kadang menjadi sampingan untuk tambahan biaya, karena setiap orang yang memintanya untuk diabadikan di atas kertas kanvas pasti memberikan bayaran.
"Suatu hari aku akan melukismu," ujarnya riang ketika kami santai di hari yang cerah. "Karena aku tidak ingin melupakan wajah itu kalau suatu saat kita sibuk satu sama lain." Ia tersenyum.
Pertemuan dan komunikasi yang terjalin intens membuat hati kami menghangat. Aku pun tak ragu untuk menyatakan kalau aku telah jatuh cinta dan bergegas mengungkapkan perasaanku.
"Audi, aku mencintamu. Apa kau mau meneruskan hubungan ini dengan serius?" Itulah kalimat berupa pertanyaan yang kuucapkan saat akan berpisah di pertigaan jalan. Kami diam di tempat saat aku memegang tangannya.
"Ya."
Dan itu adalah jawaban terpendek yang menurutku paling istimewa saat pertama kali otakku mengenal dua huruf itu sebagai kata persetujuan.
Masa romansa percintaan tercipta dengan indah, walaupun hampir setiap hari bertemu, namun waktu seakan iri dan selalu cepat bergerak untuk menyudahi moment kebersamaan kami.
Setelah melewati masa enam bulan, jalinan kasih bersamanya mulai menghadapi masalah. Audi mulai sensitif saat melihatku selalu memegang ponsel, ia mulai merengek ketika dalam beberapa kali pertemuan, aku selalu terlambat. Gadis ini mulai mencurigai hal-hal sepele di waktu aku tak menjawab telfonnya atau tidak cepat membalas pesan sms yang dikirimnya saat itu juga.
Kebersamaan kami kini terasa horror. Audi mulai rajin memeriksa ponsel milikku. "Aku ingin tahu, apa ada gadis lain yang berkirim pesan denganmu?" katanya sambil memeriksa daftar nama teman kampus yang berjenis kelamin perempuan, kemudian menekan tanda hapus di layar dengan ujung jarinya.
Gadis itu mulai mengekangku dengan semua aturan.
Pertengkaran mulai sering menghasi pertemuan. Kecemburuan Audi mulai menjadi-jadi saat aku harus mengerjakan beberapa tugas kelompok bersama beberapa teman.
Berkali-kali ia merasa bersalah, berkali pula aku memaafkan dan berusaha melupakan. Hubungan kami mengalami pasang surut dan hampir putus. Saat tidak sanggup lagi menjalani masa percintaan, aku pun mengambil kuputusan untuk menyudahinya, tapi keinginan itu tidak seiring dengan kemauan Audi. Ia berkeras untuk mempertahankan kisah kasih kami.
"Tidak! Kau tidak boleh memutuskanku. Hubungan kita baik-baik saja," katanya dengan mengiba dan memohon.
Di depan pintu rumahnya, aku hanya bisa menatap sedih. Kami saling berdiri berhadapan di bawah sinar lampu teras. Itu adalah terakhir kalinya aku mengantarnya pulang.
"Sayang, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Hubungan ini sudah tidak sehat. Kau mengekang, mencurigai bahkan mencemburui dengan alasan yang tak jelas. Aku tidak sanggup lagi menjalani masa pacaran denganmu." Kutatap wajahnya yang menunduk sedih.
Audi menggeleng cepat, ia tidak mau menerima keadaan kalau hubungan kami telah usai. "Silakan kalau ingin putus, tapi aku menolak, karena aku mencintaimu," ujarnya dengan air mata yang menderas. Kedua tangannya menggenggam erat bajuku layaknya anak kecil.
Melihatnya seperti itu semakin membuat hatiku menjauh. "Maaf, kita tetap harus putus." Kupaksa tanggannya untuk melepaskan genggaman dan langkahku benar-benar meninggalkannya sesenggukan seorang diri. Aku sudah bertekad tidak akan berbalik untuk melihat lagi, karena tak ingin iba pada hati yang telah patah.
Dua hari terlewati dengan tenang. Pikiranku begitu fokus pada kuliah yang sedang dijalani. Hanya sedikit tentang Audi yang masih membekas di sudut hati, hal itu mungkin disebabkan oleh perasaan bebas yang kualami, karena gadis itu telah membuatku terpasung selama beberapa bulan.
Namun malam itu, saat kelopak mataku terbuka, aku sadar sudah tak lagi berada di tempat kost. Audi terlihat duduk di depan meja. Dimenit selanjutnya, kepanikan tidak bisa lagi dihindari.
Bagaimana tidak, tubuhku sudah terikat di salah satu kursi. Kami saling menghadap dengan meja yang telah tersedia beberapa makanan lengkap, dihiasi lilin dan bunga. Kondisi itu tampak seperti makan malam romantis. Hanya saja posisiku berjarak satu meter darinya.
"Kenapa kau melakukan ini?" Aku berusaha berontak, tapi ikatan di kedua tangan dan kaki membatasi ruang gerak. Tanpa pikir panjang aku langsung berteriak, tapi belum juga teriakan ketiga keluar untuk meminta pertolongan, gadis itu langsung menutup mulutku dengan lakban. Dan benar saja, hampir tidak ada celah untuk berkata.
"Aku kenal beberapa laki-laki sepertimu. Mereka ... jahat," katanya dengan suara tenang sambil menatapku di seberang meja sambil memegang pisau dapur. Matanya terlihat sedih.
"Aku menyayangi dan mencintai mereka. Bahkan memuja tiap laki-laki sepertimu." Ia terdiam sambil memainkan pisau di tangan lalu menangis. Keadaan hening sesaat, Audi kemudian berdiri meninggalkan ruangan dan tak lama kembali dengan kertas kanvas dan peralatan untuk melukis.
"Aku sangat suka melukis. Tiap orang menyukai semua yang kulakukan pada wajah mereka. Ya, kau sudah tahu, kan, tentang itu?" Audi tersenyum dengan raut wajah yang berbeda dari yang tadi, tangannya bersiap memegang kuas dan memoleskan cat berwarna di kertas.
"Kau tahu, tiap laki-laki yang kucintai selalu diabadikan di atas kanvas. Bukan karena mereka istimewa, tapi karena aku ingin mengenang setelah aku membunuh mereka."
Aku terkejut mendengar kalimat terakhir itu. Antara percaya dan tidak menatap Audi dengan ketakukan yang lebih besar dari sebelumnya. Aku berusaha menggeliatkan tubuh dengan keras, agar tali yang mengikat bisa melonggar.
"Kau tahu kenapa aku melakukan ini?" Ia kembali tersenyum, kemudian berdiri dan meletakkan kuas lalu meraih pisau yang tadi di lepaskannya. Perlahan langkah Audi mendekat.
Aku gelisah dan makin berontak. Komat kamit doa dalam hati berteriak, memohon agar Tuhan bisa menolong dari keadaan yang kuharap hanya mimpi.
"Karena semua laki-laki itu pembohong. Mereka meninggalkanku setelah menghabiskan waktu bersenang-senang. Sama sepertimu, memutuskanku lalu lari menghilang seperti pencuri sialan."
Tepat saat Audi berdiri di depanku, tali-tali itu longgar. Bersyukur, Tuhan mengabulkan doa, menginginkan agar makhluk ciptaan-NYA ini tetap hidup. Aku pun mengambil waktu yang tepat untuk bisa melumpuhkan gadis itu.
"Kau berbeda Panji Argani. Setiap laki-laki yang mencintaiku akan dilukis sebelum dihabisi, tapi tidak denganmu," katanya sambil menunjuk menggunakan ujung pisau tepat di depan wajahku.
"Aku akan membunuh lalu akan melukis wajahmu ...." Audi lalu memain-mainkan ujung pisau yang masih lurus menudingku.
Ketika ia menurunkan benda tajam itu, aku berusaha berdiri dan langsung mendorong Audi ke depan dengan sekuat tenaga hingga tubuhnya menghantam meja.
Kami sama-sama tergeletak di lantai, sekilas suaranya meringis kesakitan. Ketika moment itu terjadi, aku langsung mengambil tindakan cepat. Ikatan yang telah longgar akhirnya mampu membuatku melepaskan diri. Tuhan memang benar-benar menjadi penolong.
Sewaktu berlari ke arah ruang depan, kaki ini seakan melayang di udara. saat kunci telah membuka pintu, aku melesat keluat tanpa menoleh sedikit pun. Kupanggil taksi dan dengan cepat meminta sopir untuk membawaku ke kantor polisi.
Beberapa jam kemudian, Audi langsung di tangkap. Dari laporan polisi diketahui kalau gadis itu memiliki gangguan jiwa. Di ruang tunggu kantor polisi, salah satu petugas menemaniku sambil memberikan segelas air mineral.
"Dia jadi gila setelah laki-laki yang dicintainya kabur begitu saja. Bahkan membawa semua uang tabungannya," ucapnya memulai cerita. "Padahal saat itu dia sedang hamil, tapi si laki-laki tidak mau bertanggung jawab. Naas saat berusaha mencari laki-laki itu, dia mengalami kecelakaan. Sayang sekali bayinya tidak selamat."
Aku hanya mendekap tubuh mendengar penjelasan itu. Sebentar melirik tangannya menyalakan korek gas dan menyulut api di ujung rokok pada mulutnya. Disela-sela cerita, si polisi memberitahukan kalau ia adalah tetangga Audi yang telah lama mengenal mantan kekasihku itu.
"Audi tidak pernah membunuh. Dua tahun lalu gadis malang itu memang berusaha melukai beberapa laki-laki yang dekat dengannya, tapi tidak berhasil. Itu terjadi setelah setahun Audi keluar dari rumah sakit jiwa. Kukira dia sudah sembuh, tapi ternyata ...." Si polisi menarik napas dan mengepulkan asap rokok dari mulut.
Seorang temannya yang berseragam sama tiba-tiba datang menghampiri kami menyampaikan berita baru. "Apa kau tahu? Tadi kami menemukan banyak lukisan di kamar belakang rumah gadis itu, semuanya berisi wajah laki-laki."
Aku yang duduk bersampingan dengan petugas tadi hanya saling berpandangan lalu tertunduk menatap segelas air putih yang sejak tadi belum kusentuh.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H