Melihatnya seperti itu semakin membuat hatiku menjauh. "Maaf, kita tetap harus putus." Kupaksa tanggannya untuk melepaskan genggaman dan langkahku benar-benar meninggalkannya sesenggukan seorang diri. Aku sudah bertekad tidak akan berbalik untuk melihat lagi, karena tak ingin iba pada hati yang telah patah.
Dua hari terlewati dengan tenang. Pikiranku begitu fokus pada kuliah yang sedang dijalani. Hanya sedikit tentang Audi yang masih membekas di sudut hati, hal itu mungkin disebabkan oleh perasaan bebas yang kualami, karena gadis itu telah membuatku terpasung selama beberapa bulan.
Namun malam itu, saat kelopak mataku terbuka, aku sadar sudah tak lagi berada di tempat kost. Audi terlihat duduk di depan meja. Dimenit selanjutnya, kepanikan tidak bisa lagi dihindari.
Bagaimana tidak, tubuhku sudah terikat di salah satu kursi. Kami saling menghadap dengan meja yang telah tersedia beberapa makanan lengkap, dihiasi lilin dan bunga. Kondisi itu tampak seperti makan malam romantis. Hanya saja posisiku berjarak satu meter darinya.
"Kenapa kau melakukan ini?" Aku berusaha berontak, tapi ikatan di kedua tangan dan kaki membatasi ruang gerak. Tanpa pikir panjang aku langsung berteriak, tapi belum juga teriakan ketiga keluar untuk meminta pertolongan, gadis itu langsung menutup mulutku dengan lakban. Dan benar saja, hampir tidak ada celah untuk berkata.
"Aku kenal beberapa laki-laki sepertimu. Mereka ... jahat," katanya dengan suara tenang sambil menatapku di seberang meja sambil memegang pisau dapur. Matanya terlihat sedih.
"Aku menyayangi dan mencintai mereka. Bahkan memuja tiap laki-laki sepertimu." Ia terdiam sambil memainkan pisau di tangan lalu menangis. Keadaan hening sesaat, Audi kemudian berdiri meninggalkan ruangan dan tak lama kembali dengan kertas kanvas dan peralatan untuk melukis.
"Aku sangat suka melukis. Tiap orang menyukai semua yang kulakukan pada wajah mereka. Ya, kau sudah tahu, kan, tentang itu?" Audi tersenyum dengan raut wajah yang berbeda dari yang tadi, tangannya bersiap memegang kuas dan memoleskan cat berwarna di kertas.
"Kau tahu, tiap laki-laki yang kucintai selalu diabadikan di atas kanvas. Bukan karena mereka istimewa, tapi karena aku ingin mengenang setelah aku membunuh mereka."
Aku terkejut mendengar kalimat terakhir itu. Antara percaya dan tidak menatap Audi dengan ketakukan yang lebih besar dari sebelumnya. Aku berusaha menggeliatkan tubuh dengan keras, agar tali yang mengikat bisa melonggar.
"Kau tahu kenapa aku melakukan ini?" Ia kembali tersenyum, kemudian berdiri dan meletakkan kuas lalu meraih pisau yang tadi di lepaskannya. Perlahan langkah Audi mendekat.